Film ini tayang sekitar tahun 2008.
Dan diangkat dari novel pada tahun 2006 berjudul sama.
Film dari Miramax ini mengambil setting di
masa Perang Dunia ke-2, saat Adolf Hitler masih berkuasa. Seorang anak
bernama Bruno, hidup dalam keluarga kaya yang bisa hidup nyaman walaupun
Jerman saat itu masih berada dalam bayang-bayang Nazi karena sang ayah adalah
tentara Nazi yang cukup berpengaruh bahkan mendapat promosi jabatan
sebagai komandan sehingga mereka sekeluarga harus pindah dari Berlin,
tempat asal keluarga tersebut. Bruno, yang sangat merasa nyaman tinggal
di Berlin, merasa sedih saat dia dan keluarganya harus pindah rumah dan
harus tinggal di rumah baru yang letaknya cukup terpencil dan berpisah dengan teman-temannya. Pekerjaan
baru ayah Bruno, Ralf, adalah mengepalai Camp kerja Yahudi yang letaknya
tidak terlalu jauh dari rumah baru mereka.
Bruno adalah anak berusia 8 tahun yang
memiliki daya khayal tinggi dan hobi membaca buku petualangan dan menjelajah. Ia merasa
bosan karena harus belajar homeschooling bersama kakak
perempuannya, Gretel, dan ia juga tidak punya teman di rumah barunya.
Bruno nekat pergi ke belakang rumah mereka walaupun sebenarnya
orangtuanya tidak pernah mengijinkannya. dibelakang rumah terdapat sebuah gudang dan digudang tersebut ia meluhat sebuah jendela yang menghadap sebuah kearah sebuah hutan, dan ia pun nekad untuk memanjat keluar. Setelah melewati hutan kecil, akhirnya
Bruno sampai di Camp Yahudi. Di balik pagar yang bermuatan listrik di
kamp, dia melihat anak sebayanya yang bernama Schmuel, anak Yahudi yang juga
penghuni Camp itu. Schmuel memang sering menyendiri di dekat pagar Camp.
Akhirnya, dari situlah pertemanan dua anak ini dimulai, persahabatan mereka terjalin secara rahasia, karna pada saat itu orang-orang yahudi adalah orang-orang yang sangat hina karna kekalahan perang yang dialami oleh amerika serikat adalah akibat mereka.
Bruno secara diam-diam sering mengunjungi Schmuel,
membawakannya makanan, bahkan bermain bersama. Persahabatan mereka
dijalin dengan sangat unik karena mereka berteman dengan berbataskan pagar
kawat dengan listrik bertegangan tinggi tersebut. Bruno, dengan
pemikiran lugunya, tidak mengerti mengapa Schmuel harus tinggal di Camp,
yang awalnya dia kira adalah pertanian. Dia juga tidak paham mengapa
Schmuel dan orang-orang lainnya di kamp kerja harus menggunakan baju
bergaris yang ia kira piyama, dan di baju tersebut tercantum nomor yang
sebenarnya nomor tahanan. Ia juga tidak tahu mengapa ada bau busuk yang
tercium hingga ke rumahnya, yang berasal dari perapian besar di kamp.
Padahal, bau busuk itu berasal dari orang-orang Yahudi yang dibakar
hidup-hidup.
Walaupun pada akhirnya Bruno mulai mengerti
bahwa Schmuel adalah bangsa Yahudi yang seharusnya menjadi musuh
negaranya, namun ia tetap bersahabat dengan Schmuel, karena menurutnya,
Schmuel bukan orang jahat seperti yang diajarkan oleh gurunya, kakaknya,
dan ayahnya. Persahabatan mereka pun terus terjalin sampai suatu saat
Bruno memberitahu Schmuel bahwa ia harus pindah rumah lagi. Dia akan
tinggal bersama kakak dan ibunya di tempat bibi mereka. Hal ini
dikarenakan sang ibu menderita tekanan mental karena tidak tahan dengan
sikap suaminya yang merahasiakan pembakaran orang-orang Yahudi di Camp.
Schmuel juga sedang bersedih karena ayahnya
yang juga tinggal di kamp bersamanya pergi kerja paksa bersama beberapa
pria lainnya, namun ternyata sang ayah tidak pernah pulang ke Camp.
Bruno berjanji membantu Schmuel mencari ayahnya di Camp, sebagai upaya
terakhirnya sebelum pindah rumah. Dengan menggali lubang di bawah pagar
kawat dan baju “piyama” yang diberikan Schmuel, Bruno berhasil menyusup
masuk ke dalam Camp. Namun, sebelum mereka berhasil bertemu ayah
Schmuel, kedua anak itu justru dipaksa ikut dalam barisan tahanan Yahudi
lainnya, dan mereka pun digiring ke dalam perapian raksasa. Ending fim
ini memang sangat menyedihkan, dimana kedua bocah malang yang polos itu
akhirnya dibakar hidup-hidup bersama puluhan tahanan lainnya.
Film ini mengadung banyak sekali makna, terutama makna tentang persahabatan yang ditunuukan kedua anak ini. Apalagi beberapa saat sebelum kedua sahabat
itu dibakar hidup-hidup, mereka sempat berpegangan tangan dengan erat. Adegan yang sangat mengharukan. Bukan bermaksud mendukung gerakan zionis atau
membela bangsa Yahudi, namun ketika saya melihat sisi lain dari film ini. Yang
saya lihat, hanyalah persahabatan tak kenal batas, lugu, jujur, dan
tanpa melihat perbedaan. Persahabatan yang Bruno dan Schmuel lakoni di
film ini sangat sederhana dan khas anak-anak sehingga membuat film ini
sangat menarik. Kedua bocah ini, bagi saya, seakan menggambarkan bahwa
mereka, anak-anak, adalah korban perang sesungguhnya. Mereka tidak tahu
apa-apa, mereka tidak mengerti politik dan perang, namun mereka terlibat
jauh dalam arus putaran konflik orang dewasa. Di lain pihak, saya jadi
bermimpi, apabila kehidupan ini diwarnai oleh persahabatan yang indah
seperti pertemanan Bruno yang merupakan anak tentara Nazi dengan Schmuel
yang merupakan anak bangsa Yahudi, saya yakin, perang maupun konflik
antar agama, suku, dan ras yang berbeda tidak akan pernah terjadi.
Selain itu, terbukti bahwa perang toh tidak
menyelesaikan masalah. Malahan akan menambah mata rantai dendam yang
mengakibatkan perang tak pernah benar-benar berhenti. alhasil ketika diending film ini kedua orang tua Bruno sangat menyesal. ingat sesuatu yang indah bukanlah hal yang sama tetapi hal yang indah itu adalah perbedaan, tambahkan sedikit rasa toleransi, cinta, serta kasih maka itu akan menjadi sempurna
No comments:
Post a Comment