Konon di satu saat yang telah lama berlalu, Elang dan Kalkun adalah
burung yang menjadi teman yang baik. Dimanapun mereka berada, kedua
teman selalu pergi bersama-sama. Tidak aneh bagi manusia untuk melihat
Elang dan Kalkun terbang bersebelahan melintasi udara bebas.
Satu hari ketika mereka terbang, Kalkun berbicara pada Elang, “Mari
kita turun dan mendapatkan sesuatu untuk dimakan. Perut saya sudah
keroncongan nih!”. Elang membalas, “Kedengarannya ide yang bagus”.
Jadi kedua burung melayang turun ke bumi, melihat beberapa binatang
lain sedang makan dan memutuskan bergabung dengan mereka. Mereka
mendarat dekat dengan seekor Sapi. Sapi ini tengah sibuk makan
jagung,namun sewaktu memperhatikan bahwa ada Elang dan Kalkun sedang
berdiri dekat dengannya, Sapi berkata, “Selamat datang, silakan cicipi
jagung manis ini”.
Ajakan ini membuat kedua burung ini terkejut. Mereka tidak biasa jika
ada binatang lain berbagi soal makanan mereka dengan mudahnya. Elang
bertanya, “Mengapa kamu bersedia membagikan jagung milikmu bagi kami?”.
Sapi menjawab, “Oh, kami punya banyak makanan disini. Tuan Petani
memberikan bagi kami apapun yang kami inginkan”. Dengan undangan itu,
Elang dan Kalkun menjadi terkejut dan menelan ludah. Sebelum selesai,
Kalkun menanyakan lebih jauh tentang Tuan Petani.
Sapi menjawab, “Yah, dia menumbuhkan sendiri semua makanan kami. Kami
sama sekali tidak perlu bekerja untuk makanan”. Kalkun tambah bingung,
“Maksud kamu, Tuan Petani itu memberikan padamu semua yang ingin kamu
makan?”. Sapi menjawab, “Tepat sekali!. Tidak hanya itu, dia juga
memberikan pada kami tempat untuk tinggal.” Elang dan Kalkun menjadi
syok berat!. Mereka belum pernah mendengar hal seperti ini. Mereka
selalu harus mencari makanan dan bekerja untuk mencari naungan.
Ketika datang waktunya untuk meninggalkan tempat itu, Kalkun dan
Elang mulai berdiskusi lagi tentang situasi ini. Kalkun berkata pada
Elang, “Mungkin kita harus tinggal di sini. Kita bisa mendapatkan semua
makanan yang kita inginkan tanpa perlu bekerja. Dan gudang yang disana
cocok dijadikan sarang seperti yang telah pernah bangun. Disamping itu
saya telah lelah bila harus selalu bekerja untuk dapat hidup.”
Elang juga goyah dengan pengalaman ini, “Saya tidak tahu tentang
semua ini. Kedengarannya terlalu baik untuk diterima. Saya menemukan
semua ini sulit untuk dipercaya bahwa ada pihak yang mendapat sesuatu
tanpa mbalan. Disamping itu saya lebih suka terbang tinggi dan bebas
mengarungi langit luas. Dan bekerja untuk menyediakan makanan dan tempat
bernaung tidaklah terlalu buruk. Pada kenyataannya, saya menemukan hal
itu sebagai tantangan menarik”.
Akhirnya, Kalkun memikirkan semuanya dan memutuskan untuk menetap
dimana ada makanan gratis dan juga naungan. Namun Elang memutuskan bahwa
ia amat mencintai kemerdekaannya dibanding menyerahkannya begitu saja.
Ia menikmati tantangan rutin yang membuatnya hidup. Jadi setelah
mengucapkan selamat berpisah untuk teman lamanya Si Kalkun, Elang
menetapkan penerbangan untuk petualangan baru yang ia tidak ketahui
bagaimana ke depannya.
Semuanya berjalan baik bagi Si Kalkun. Dia makan semua yang ia
inginkan. Dia tidak pernah bekerja. Dia bertumbuh menjadi burung gemuk
dan malas. Namun suatu hari dia mendengar istri Tuan Petani menyebutkan
bahwa Hari raya Thanks giving akan datang beberapa hari lagi dan
alangkah indahnya jika ada hidangan Kalkun panggang untuk makan malam.
Mendengar hal itu, Si Kalkun memutuskan sudah waktunya untuk pergi dari
pertanian itu dan bergabung kembali dengan teman baiknya, si Elang.
Namun ketika dia berusaha untuk terbang, dia menemukan bahwa ia telah
tumbuh terlalu gemuk dan malas. Bukannya dapat terbang, dia justru
hanya bisa mengepak-ngepakkan sayapnya. Akhirnya di Hari Thanks giving
keluarga Tuan Petani duduk bersama menghadapi panggang daging Kalkun
besar yang sedap.
Ketika anda menyerah pada tantangan hidup dalam pencarian keamanan,
anda mungkin sedang menyerahkan kemerdekaan anda…Dan Anda akan
menyesalinya setelah segalanya berlalu dan tidak ada KESEMPATAN lagi…
Seperti pepatah kuno “selalu ada keju gratis dalam perangkap tikus”.
No comments:
Post a Comment