Lukas
15:11-32 - Disampaikan oleh Pendeta Eric Chang, Montreal
Isi khotbah
Hari ini, kita akan melanjutkan pembahasan kita tentang pengajaran Yesus di dalam Lukas 15:11-32, yang ketiga dari empat perumpamaan di dalam Lukas 15, Perumpamaan tentang Anak yang Hilang. Dan perumpamaan ini berkisah tentang hubungan bapa-anak (sonship). Apa artinya menjadi anak? Apa masalah yang timbul dalam hubungan ini? Bagaimana cara kita menjadi anak? Saya akan memberi gambaran ringkasnya kepada Anda karena perumpamaan ini agak terlalu panjang untuk dibaca.
Hari ini, kita akan melanjutkan pembahasan kita tentang pengajaran Yesus di dalam Lukas 15:11-32, yang ketiga dari empat perumpamaan di dalam Lukas 15, Perumpamaan tentang Anak yang Hilang. Dan perumpamaan ini berkisah tentang hubungan bapa-anak (sonship). Apa artinya menjadi anak? Apa masalah yang timbul dalam hubungan ini? Bagaimana cara kita menjadi anak? Saya akan memberi gambaran ringkasnya kepada Anda karena perumpamaan ini agak terlalu panjang untuk dibaca.
Isi Cerita
tentang Anak yang Hilang
Di dalam perumpamaan ini, Yesus bercerita tentang seorang ayah yang memiliki dua anak laki-laki. Dan anak yang lebih muda meminta pembagian warisan sebelum ayahnya mati. Ia tidak sabar menunggu sampai ayahnya mati untuk dapat menikmati warisan itu. Lalu ia berkata, "Maukah engkau membagi kekayaanmu sekarang dan memberi saya bagian yang ditetapkan buat saya?" Dari sini kita dapat melihat bagaimana sikap mental dan kepribadian anak tersebut. Memang ada pengaturan di bawah hukum Yahudi bahwa jika si ayah berkenan, ia dapat membagi warisan kepada anaknya sebelum ia sendiri meninggal. Perhatikan bahwa si ayah ini tidak menegur anaknya. Ia tidak berkata, "Aku tidak mengizinkan kamu melakukan hal itu," suatu ucapan yang cenderung akan dilontarkan setiap ayah. Dan hal ini memberi kita satu pengertian tentang karakter Allah. Si ayah itu memberi anaknya bagian warisan anak itu. Tak lama kemudian, anak yang lebih muda ini memisahkan diri, sesudah menerima bagian warisan dari ayahnya. Di dalam ayat 13, perhatikan bahwa ia tidak pergi ke negeri yang dekat dengan tempat tinggal ayahnya. Ia merantau ke negeri yang sangat jauh, berharap bisa pergi dari ayahnya sejauh mungkin, karena - sebagaimana yang Anda ketahui - setiap anak cenderung ingin mandiri. Anak-anak ingin sekali melakukan segala yang mereka mau; mereka tidak ingin selalu berada di bawah pengawasan ayahnya. Jadi pergilah anak ini untuk menikmati kebebasannya.
Di dalam perumpamaan ini, Yesus bercerita tentang seorang ayah yang memiliki dua anak laki-laki. Dan anak yang lebih muda meminta pembagian warisan sebelum ayahnya mati. Ia tidak sabar menunggu sampai ayahnya mati untuk dapat menikmati warisan itu. Lalu ia berkata, "Maukah engkau membagi kekayaanmu sekarang dan memberi saya bagian yang ditetapkan buat saya?" Dari sini kita dapat melihat bagaimana sikap mental dan kepribadian anak tersebut. Memang ada pengaturan di bawah hukum Yahudi bahwa jika si ayah berkenan, ia dapat membagi warisan kepada anaknya sebelum ia sendiri meninggal. Perhatikan bahwa si ayah ini tidak menegur anaknya. Ia tidak berkata, "Aku tidak mengizinkan kamu melakukan hal itu," suatu ucapan yang cenderung akan dilontarkan setiap ayah. Dan hal ini memberi kita satu pengertian tentang karakter Allah. Si ayah itu memberi anaknya bagian warisan anak itu. Tak lama kemudian, anak yang lebih muda ini memisahkan diri, sesudah menerima bagian warisan dari ayahnya. Di dalam ayat 13, perhatikan bahwa ia tidak pergi ke negeri yang dekat dengan tempat tinggal ayahnya. Ia merantau ke negeri yang sangat jauh, berharap bisa pergi dari ayahnya sejauh mungkin, karena - sebagaimana yang Anda ketahui - setiap anak cenderung ingin mandiri. Anak-anak ingin sekali melakukan segala yang mereka mau; mereka tidak ingin selalu berada di bawah pengawasan ayahnya. Jadi pergilah anak ini untuk menikmati kebebasannya.
Namun celaka sekali!
Hal-hal yang gampang diraih selalu mudah pula berlalu. Si ayah mungkin
harus bekerja keras untuk memperoleh kekayaan itu, namun si anak tidak
akan bisa menghargai hal yang bukan hasil perjuangannya sendiri, perkara
ini sering terjadi pada anak-anak yang berasal dari keluarga kaya. Lalu
ia pergi ke negeri yang sangat jauh dan memboroskan semua kekayaannya.
Pepatah mengatakan, "Gampang didapat, gampang pula habisnya". Jadi dalam
waktu yang sangat singkat, karena tidak tahu bagaimana mengelola
keuangannya, anak ini jatuh bangkrut.
Pada waktu itu ia
mulai menyadari, bahwa untuk dapat bertahan hidup ia harus bekerja.
Tiba-tiba ia tersadar bahwa hidup di dunia ini perlu bekerja.
Sebelumnya, segala sesuatu yang ia nikmati adalah hasil pemberian. Sang
ayah selalu mencukupi segala sesuatu buatnya. Mendadak saja sekarang ia
harus bekerja. Namun ternyata ia tidak punya keterampilan yang tinggi
untuk bekerja. Apa yang dapat ia lakukan? Orang yang tidak tahu
bagaimana mengelola kehidupan dan keuangannya sulit untuk mendapatkan
kepercayaan dari orang lain. Akhirnya, satu-satunya tanggungjawab yang
dipercayakan kepadanya adalah mengawasi babi. Ia mendapat pekerjaan
sebagai pemelihara babi.
Namun ini bukan
pekerjaan yang dibayar tinggi. Ia mendapati bahwa upahnya tidak
mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehingga ia rela memakan makanan
babi. Bagaimanapun juga, makanan babi tidak terlalu buruk. Kadang kala,
sisa-sisa makanan yang lezat dari restoran yang mahal dikumpulkan dalam
tong khusus dan diberikan kepada babi. Jadi cukup sering babi-babi
menerima makanan yang lebih bergizi ketimbang manusia. Banyak orang yang
hanya makan roti tawar dengan gula, selai dan bahan lain yang tidak
cukup bergizi, sementara babi menikmati semua hidangan utama yang juga
disajikan kepada orang kaya! Tidak heran jika anak muda ini berminat
terhadap makanan babi, yang penampilannya mungkin tidak begitu menarik,
namun rasanya pasti cukup lezat, percayalah.
Ketika ia sedang
dalam keadaan seperti ini, ia mulai merenungkan tentang rumahnya. Kadang
kala dibutuhkan satu pukulan yang keras untuk menyadarkan kita. Di dalam
ayat 17 disebutkan, lalu ia menyadari keadaannya, ia mulai
tersadar. Akhirnya ia terbangun. Ia mulai menyadari keadaannya.
Perhatikan bahwa
saat di rumah, ayahnya memberi dia segala-galanya, namun jauh dari
rumah, ia bukan siapa-siapa, dan tak ada yang peduli padanya. Ayat 16
berkata, tidak seorangpun yang memberi kepadanya. Satu-satunya
orang yang peduli pada anak ini adalah ayahnya. Namun anak ini sudah
mengingkari orang yang sayang padanya. Sekarang, tidak ada yang peduli
padanya di tempat ini. Ketika kita mengingkari Allah, kita akan segera
mendapati bahwa satu-satu-Nya pribadi yang benar-benar menyayangi kita
adalah Allah. Tak seorangpun yang menyayangi kita lebih dari Allah.
Mendapati dirinya
berada dalam keadaan seperti itu, ia mulai berpikir, "Pelayan ayahku
yang berjumlah banyak itu semuanya bisa makan sampai puas. Sedangkan aku
di sini mati kelaparan!" Dan akhirnya ia sampai pada kesimpulan yang
memang sudah semestinya ia lakukan, "Aku akan bangkit dan pergi kepada
bapaku. Di sanalah satu-satunya tempat yang tersisa bagi aku."
Namun bagaimana ia
bisa kembali kepada ayahnya? Ia sudah mengambil bagian warisannya.
Ayahnya sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi dengannya. Lalu ia
memikirkan dan menyusun kata-kata yang akan diucapkannya, "Bapa,
aku telah berdosa terhadap surga dan terhadap bapa." Ucapan ini
memiliki makna yang sangat dalam. Dengan kata lain ia sedang berkata,
"Aku telah berdosa kepada Allah dan juga kepadamu, bapa. Apa yang sudah
kulakukan bukan sekadar merupakan kesalahan terhadapmu, tetapi juga
suatu kesalahan kepada Allah. Sekarang aku memintamu untuk menerima aku,
bukan sebagai anakmu karena aku tidak punya lagi hak sebagai anakmu,
tapi berilah aku tempat di antara hamba-hambamu. Aku tidak tahu apakah
aku boleh diterima sebagai seorang hamba. Tetapi jika engkau menganggap
bahwa aku masih boleh menjadi hambamu, aku memohon Anda untuk menerima
aku."
Ayah yang
Berbelas Kasih
Lalu di dalam ayat 20, kita baca bahwa si ayah selama ini selalu menatapi kejauhan lewat jendela rumah menanti kepulangannya. Si ayah sudah lama menanti, dan ia tidak dikecewakan. Dari kejauhan, ia melihat sesosok tubuh yang berpakaian compang camping, berjalan gontai dan melangkah dengan lesu, dan hatinya segera diliputi oleh sukacita! Ayat 20 berkata, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Kita akan membahas kata 'belas kasihan' ini nanti. Lalu si ayah ini berlari; ia tidak sekadar berjalan. Ia tidak menunggu sampai si anak datang. Ia tidak berkata, "Saya tunggu di sini saja. Ia harus menerima pelajarannya. Ia pantas menerimanya. Ini satu pelajaran buatnya." Tidak ada pembalasan, tidak ada dendam. Si ayah berlari keluar dan memeluk anak bungsu ini. Si anak segera menyampaikan kata-kata yang sudah dirancangnya itu, "Aku telah berdosa terhadap surga dan terhadap bapa. Aku tidak layak lagi disebut anakmu. Aku tidak pantas menjadi anakmu." Namun sang ayah membalutkan pakaian terbaik buat anaknya. Dan ia memakaikan cincin di jari sang anak, dan memakaikan sepatu di kakinya, yang menunjukkan bahwa si anak ini bahkan tidak punya alas kaki lagi. Ia berjalan dengan telanjang kaki selama ini. Dan perutnya yang lapar dipuaskan dengan daging dari anak lembu yang tambun. Sukacita yang sangat besar!
Lalu di dalam ayat 20, kita baca bahwa si ayah selama ini selalu menatapi kejauhan lewat jendela rumah menanti kepulangannya. Si ayah sudah lama menanti, dan ia tidak dikecewakan. Dari kejauhan, ia melihat sesosok tubuh yang berpakaian compang camping, berjalan gontai dan melangkah dengan lesu, dan hatinya segera diliputi oleh sukacita! Ayat 20 berkata, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Kita akan membahas kata 'belas kasihan' ini nanti. Lalu si ayah ini berlari; ia tidak sekadar berjalan. Ia tidak menunggu sampai si anak datang. Ia tidak berkata, "Saya tunggu di sini saja. Ia harus menerima pelajarannya. Ia pantas menerimanya. Ini satu pelajaran buatnya." Tidak ada pembalasan, tidak ada dendam. Si ayah berlari keluar dan memeluk anak bungsu ini. Si anak segera menyampaikan kata-kata yang sudah dirancangnya itu, "Aku telah berdosa terhadap surga dan terhadap bapa. Aku tidak layak lagi disebut anakmu. Aku tidak pantas menjadi anakmu." Namun sang ayah membalutkan pakaian terbaik buat anaknya. Dan ia memakaikan cincin di jari sang anak, dan memakaikan sepatu di kakinya, yang menunjukkan bahwa si anak ini bahkan tidak punya alas kaki lagi. Ia berjalan dengan telanjang kaki selama ini. Dan perutnya yang lapar dipuaskan dengan daging dari anak lembu yang tambun. Sukacita yang sangat besar!
Si Sulung yang
Kesal
Tidak heranlah, anak yang sulung memandang semua hal ini dengan penuh rasa muak dan berpikir, "Nah, anak ini memang pantas menerima nasibnya! Si pemalas ini tidak pernah bisa diandalkan, dasar anak bengal yang manja! Ia bahkan berani melecehkan bapa dengan meminta bagian warisannya sebelum bapa meninggal! Apa ada anak yang lebih hina dari itu? Terus dia pergi jauh menghambur-hamburkan warisannya. Berfoya-foya di negeri orang, dan sekarang kembali sebagai pengemis! Tapi bapa bukannya menempatkan dia di tempat yang seharusnya. Bapa malah bersukacita untuk kepulangannya!" Si anak sulung merasa sangat muak karena tidak seperti bapanya, ia tidak memiliki belas kasihan sama sekali. Ia tidak punya rasa iba terhadap adiknya, yang sudah mendapat pelajaran dari pengalaman buruknya. Sang ayah merasa karena si bungsu ini sudah sadar dan menerima pelajarannya dari pengalaman itu, tidak usahlah kesulitan yang dihadapi itu ditambah-tambahi. Ia sudah jatuh bangkrut, telanjang kaki dan kelaparan. Perlukah anak itu direndahkan lagi untuk memastikan bahwa ia belajar dari kesalahannya? Seberapa rendah perlakuan yang mampu ia tanggung? Sang ayah menganggap bahwa itu semua sudah cukup. Akan tetapi tidak ada yang cukup bagi si anak sulung. Ia merasa bahwa yang terbaik adalah menempatkan si bungsu sejajar dengan para budak. Ia tidak berbelas kasihan.
Tidak heranlah, anak yang sulung memandang semua hal ini dengan penuh rasa muak dan berpikir, "Nah, anak ini memang pantas menerima nasibnya! Si pemalas ini tidak pernah bisa diandalkan, dasar anak bengal yang manja! Ia bahkan berani melecehkan bapa dengan meminta bagian warisannya sebelum bapa meninggal! Apa ada anak yang lebih hina dari itu? Terus dia pergi jauh menghambur-hamburkan warisannya. Berfoya-foya di negeri orang, dan sekarang kembali sebagai pengemis! Tapi bapa bukannya menempatkan dia di tempat yang seharusnya. Bapa malah bersukacita untuk kepulangannya!" Si anak sulung merasa sangat muak karena tidak seperti bapanya, ia tidak memiliki belas kasihan sama sekali. Ia tidak punya rasa iba terhadap adiknya, yang sudah mendapat pelajaran dari pengalaman buruknya. Sang ayah merasa karena si bungsu ini sudah sadar dan menerima pelajarannya dari pengalaman itu, tidak usahlah kesulitan yang dihadapi itu ditambah-tambahi. Ia sudah jatuh bangkrut, telanjang kaki dan kelaparan. Perlukah anak itu direndahkan lagi untuk memastikan bahwa ia belajar dari kesalahannya? Seberapa rendah perlakuan yang mampu ia tanggung? Sang ayah menganggap bahwa itu semua sudah cukup. Akan tetapi tidak ada yang cukup bagi si anak sulung. Ia merasa bahwa yang terbaik adalah menempatkan si bungsu sejajar dengan para budak. Ia tidak berbelas kasihan.
Dan sebagai
rangkuman dari perumpamaan ini, si ayah berkata, "Sebab anakku ini
telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat
kembali." Ini sebabnya mengapa perumpamaan ini disebut Perumpamaan
tentang Anak yang Hilang.
Perumpamaan ini
Semestinya disebut: Perumpamaan tentang Dua Anak yang Hilang
Sebenarnya, saya cenderung menyebutnya sebagai Perumpamaan tentang Dua Anak yang Hilang, yang satu tersesat lebih jauh dari yang lainnya. Atau, disebut Perumpamaan Dua Anak yang Hilang, satu telah ditemukan kembali dan yang satunya tidak pernah diselamatkan karena tidak pernah hilang.
Sebenarnya, saya cenderung menyebutnya sebagai Perumpamaan tentang Dua Anak yang Hilang, yang satu tersesat lebih jauh dari yang lainnya. Atau, disebut Perumpamaan Dua Anak yang Hilang, satu telah ditemukan kembali dan yang satunya tidak pernah diselamatkan karena tidak pernah hilang.
Pertama-tama, perlu
Anda cermati bahwa keseluruhan isi Alkitab bercerita tentang anak-anak
yang hilang. Isi beritanya selalu adalah tentang anak yang hilang.
Manusia pertama, Adam, tersesat dan hilang, dan Adam disebut sebagai
seorang 'anak Allah' di dalam Lukas 3:38. Yaitu, asal muasalnya,
keberadaan dan segala miliknya bersumber dari Allah. Adam adalah anak
Allah dan Adam sudah hilang.
Siapa lagi anak yang
hilang? Sebagian besar Perjanjian Lama berkisah tentang Israel, dan
bangsa Israel disebut sebagai 'anak Allah' di dalam beberapa ayat,
sebagai contoh, Hosea 11:1,2 dan 10. Dan Hosea 11:1 (dari Mesir
Kupanggil anak-Ku itu, yaitu, Allah memanggil Israel keluar dari
Mesir) yang dikutip dalam Matius 2:15 bercerita tentang Israel sebagai
anak yang hilang. Alkitab adalah buku yang berkisah tentang anak-anak
yang hilang.
Kata 'anak' memiliki
makna yang luas di dalam Alkitab. Para malaikat Allah di dalam
Perjanjian Lama juga disebut sebagai 'anak-anak Allah', sebagai contoh
di dalam Ayub 1:6, 2:1, 38:7. Mereka adalah anak-anak dalam kedudukan
yang berbeda, kedekatan yang berbeda terhadap Allah. Namun, bahkan para
malaikat juga bisa terhilang. Perhatikan contoh di dalam surat Yudas
ayat 6, di situ disebutkan bahwa
Ia
menahan malaikat-malaikat yang tidak taat pada batas-batas kekuasaan
mereka, tetapi yang meninggalkan tempat kediaman mereka, dengan belenggu
abadi di dalam dunia kekelaman sampai penghakiman pada hari besar.
Kunci Pemahaman
Perumpamaan ini: Menjadi Anak bukan Jaminan Anda Tidak akan Hilang
Ada satu pandangan yang beredar luas di kalangan orang Kristen sekarang ini, bahwa kedudukan sebagai anak merupakan jaminan keselamatan. Apa dasar jaminan keselamatan seorang Kristen? "Aku adalah anak". Dan banyak sekali orang yang berkata, "Sekali menjadi anak akan selamanya menjadi anak." Benar, 'sekali menjadi anak memang akan selamanya menjadi anak," tetapi apa artinya itu? Sejauh yang berhubungan dengan Kitab Suci, tidak ada makna jaminan keselamatan sama sekali. Seperti yang sudah kita lihat, Alkitab selalu bercerita tentang anak yang hilang. Menjadi seorang anak bukanlah jaminan bahwa Anda tidak akan terhilang, dan inilah poin utama dari Perumpamaan tentang Anak yang Hilang itu.
Ada satu pandangan yang beredar luas di kalangan orang Kristen sekarang ini, bahwa kedudukan sebagai anak merupakan jaminan keselamatan. Apa dasar jaminan keselamatan seorang Kristen? "Aku adalah anak". Dan banyak sekali orang yang berkata, "Sekali menjadi anak akan selamanya menjadi anak." Benar, 'sekali menjadi anak memang akan selamanya menjadi anak," tetapi apa artinya itu? Sejauh yang berhubungan dengan Kitab Suci, tidak ada makna jaminan keselamatan sama sekali. Seperti yang sudah kita lihat, Alkitab selalu bercerita tentang anak yang hilang. Menjadi seorang anak bukanlah jaminan bahwa Anda tidak akan terhilang, dan inilah poin utama dari Perumpamaan tentang Anak yang Hilang itu.
Jika Anda seorang
Kristen, jangan mendasarkan keamanan rohani Anda pada anggapan bahwa
Anda adalah anak dan dengan demikian Anda pasti akan baik-baik saja,
jadi Anda boleh berbuat dosa sebanyak yang Anda mau. Anda boleh
meninggalkan Allah dan masih diselamatkan juga pada akhirnya. Itulah
pengajaran yang banyak diberikan oleh sebagian besar Gereja sekarang.
Namun saya beritahu, ini adalah ajaran sesat, berdasarkan Firman Allah;
ini bukanlah ajaran yang alkitabiah. Jangan membangun kehidupan rohani
Anda di atas dasar yang salah. Mungkin terasa nyaman, menentramkan,
namun tetap saja salah.
Pernah ada orang
yang berkata kepada saya, "Sekalipun orang-orang Kristen mungkin
berpaling dari Allah, mungkin berbuat dosa, melakukan berbagai
pelanggaran, mereka tetap akan diselamatkan."
Saya bertanya,
"Adakah dasar dari Firman Allah untuk hal itu?"
Jawabnya, "Sangat
mudah! Kita adalah anak-anak Allah, dan jika sudah menjadi anak, maka
selamanya akan tetap sebagai anak."
Menyedihkan sekali!
Membangun anggapan tentang jaminan keselamatan seperti itu sangatlah
membinasakan! Belum pernahkah Anda membaca Alkitab? Alkitab berbicara
tentang anak-anak yang hilang. Adam terhilang. Dia adalah anak. Bangsa
Israel terhilang. Mereka juga adalah anak-anak. Para malaikat adalah
anak-anak Allah tetapi mereka juga ada yang hilang. Apakah Anda akan
mendasarkan rasa aman Anda hanya dengan kata-kata, "Aku adalah anak"?
Saya tidak
seketikapun menyangkal betapa luar biasanya menjadi seorang anak Allah!
Dan kita adalah anak-anak Allah dalam beberapa pengertian. Sebagai
contoh, makna dari ungkapan 'anak Allah' yang memiliki jangkauan yang
luas, di dalam Kisah 17:28 di mana Paulus mengutip salah satu pujangga
Yunani yang mengatakan bahwa kita ini dari keturunan Allah juga.
Di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada. Ada cakupan
makna yang luas di mana Allah menjadi Bapa dan kita, umat manusia,
adalah makhluk dengan keberadaan yang berasal dari Dia. Sama seperti
keberadaan kita yang berasal dari orang tua kita, di balik itu, Allahlah
yang menjadi sumber keberadaan kita sesungguhnya. Allah adalah bapa di
dalam pengertian cakupan yang sangat luas itu. Dan cara pandang ini juga
diterima oleh Alkitab. Akan tetapi ada pengertian yang lebih dipersempit
lagi. Sama seperti di dalam setiap keluarga, beberapa anak memiliki
kedekatan yang lebih akrab dengan ayah mereka ketimbang anak yang
lainnya. Hal ini terjadi juga di dalam kehidupan rohani, beberapa anak
memiliki hubungan lebih akrab dengan Allah, dengan Bapa, ketimbang anak
yang lainnya.
Di samping itu, ada
lagi pengertian yang lebih khusus sifatnya yaitu kita menjadi anak
karena Allah mengangkat kita sebagai anak-Nya. Paulus berkata bahwa kita
telah menerima Roh yang menjadikan kita anak Allah di Roma 8:15. Dengan
demikian, kita menjadi anak karena pengangkatan; dan juga menjadi anak
karena kelahiran baru.
Yesus juga adalah
Anak, akan tetapi tentulah kita bukanlah anak dengan pengertian yang
sama dengan Yesus sebagai Anak Allah. Dan Anda akan melihat betapa
keberadaan-Nya sebagai Anak sungguh berbeda dengan keberadaan kita
sebagai anak. Keberadaan Dia sebagai Anak lebih bersifat esensial. Yesus
memiliki natur yang sama dengan Bapa. Sedangkan kita tidak dari natur
yang sama dengan Allah. Kita adalah manusia, tetapi Yesus adalah
keduanya, Ilahi dan juga manusia. Dari sini kita dapat melihat bahwa
Alkitab memakai kata 'anak' dengan pengertian yang sangat luas.
Tetapi cukup untuk
dikatakan di titik ini, bahwa tidak kira dalam pengertian apa pun, Anda
tidak dapat berkata, "Aku aman karena aku adalah anak." Saya sedih
melihat begitu banyak orang Kristen yang diajari bahwa kualitas
kehidupan yang mereka jalani tidaklah penting. Tidak masalah apakah
mereka kudus atau tidak. Tidak masalah apakah mereka berbuat dosa atau
tidak.
Kenyataannya, pernah
saya menanyakan salah satu dari orang Kristen itu, "Katakan pada saya,
berdasarkan doktrin yang Anda yakini - tidak tahu dari mana asalnya,
jika seorang Kristen melakukan pembunuhan dan tidak bertobat, apakah ia
tetap akan diselamatkan? Ya atau tidak?"
Dan tahukah Anda apa
jawabannya? Dia berkata, "Ya." Berdasarkan teori 'sekali selamat tetap
selamat', Anda tentu saja akan tetap diselamatkan biarpun sudah
melakukan pembunuhan. Tidak ada hal yang dapat Anda lakukan untuk tidak
diselamatkan.
Saya berkata, "Jadi
jika seorang yang bukan Kristen melakukan, katakanlah, sebuah dosa kecil
seperti mencuri, apakah ia harus masuk ke neraka sementara orang Kristen
yang membunuh dan tidak bertobat akan tetap diselamatkan? Doktrin macam
apa yang Anda ajarkan ini? Dari bagian Alkitab yang mana Anda menemukan
ajaran ini?" Kesalahan itu datang dari penalaran yang salah bahwa
'sekali anak tetap anak.' Mereka lupa bahwa Anda bisa saja menjadi anak
namun tetap hilang. Dan hal ini adalah jauh lebih tragis ketimbang tidak
pernah menjadi anak sama sekali.
Perumpamaan ini
Berbicara tentang Anak yang Hilang dan Diselamatkan karena Bertobat
Saya harap Anda mau memikirkan hal ini dengan sangat hati-hati. Saya ulangi sekali lagi: Alkitab adalah sebuah Kitab tentang anak-anak yang hilang. Ini adalah kisah yang tragis. Dan apakah Anda pikir anak yang bungsu itu akan diselamatkan jika ia tidak bertobat? Perumpamaan ini bercerita tentang anak yang hilang dan diselamatkan bukan karena ia adalah seorang anak, tetapi karena ia bertobat. Keberadaan sebagai anak tidak ada artiya buat dia, jika ia tidak bertobat. Jika ia bisa diselamatkan tanpa harus bertobat, maka kita tidak membutuhkan perumpamaan ini. Poin pokok dalam perumpamaan ini adalah bahwa ia diselamatkan karena ia bertobat.
Saya harap Anda mau memikirkan hal ini dengan sangat hati-hati. Saya ulangi sekali lagi: Alkitab adalah sebuah Kitab tentang anak-anak yang hilang. Ini adalah kisah yang tragis. Dan apakah Anda pikir anak yang bungsu itu akan diselamatkan jika ia tidak bertobat? Perumpamaan ini bercerita tentang anak yang hilang dan diselamatkan bukan karena ia adalah seorang anak, tetapi karena ia bertobat. Keberadaan sebagai anak tidak ada artiya buat dia, jika ia tidak bertobat. Jika ia bisa diselamatkan tanpa harus bertobat, maka kita tidak membutuhkan perumpamaan ini. Poin pokok dalam perumpamaan ini adalah bahwa ia diselamatkan karena ia bertobat.
Lalu bagaimana
dengan si sulung? Ia juga disebut anak. Tahukah Anda siapa yang diwakili
oleh si sulung ini? Jika Anda memperhatikan dengan teliti
perumpamaan-perumpamaan dari Yesus, beberapa dari antaranya bercerita
tentang dua anak. Anak yang sulung selalu dihubungkan dengan para ahli
kitab dan orang-orang Farisi sementara yang bungsu dikaitkan dengan
orang-orang berdosa dan pemungut cukai. Ini adalah dua kelompok utama
umat di Israel: para ahli kitab dan orang-orang Farisi di satu pihak,
dan orang-orang berdosa serta pemungut cukai di pihak lannya. Mereka
itulah dua anak ini. Itu sebabnya Yesus berkata kepada orang-orang
Farisi dan ahli kitab, "Orang-orang berdosa dan pemungut cukai akan
masuk ke dalam kerajaan Allah tanpa kalian, karena mereka akan bertobat.
Tetapi kalian akan tertinggal di luar. Saat itulah kalian akan meratap
dan menggertakkan gigi." Tidak ada orang yang diselamatkan tanpa
pertobatan. Tidak ada ajaran alkitabiah yang mengatakan bahwa setiap
orang akan diselamatkan tanpa pertobatan.
Jangan Terlalu
Yakin bahwa Anda adalah Anak!
Itu sebabnya mengapa Yohanes Pembaptis, nabi besar Allah, berkata, "Jadi hasilkanlah buah yang sesuai dengan pertobatan. Dan janganlah mengira, bahwa kamu dapat berkata dalam hatimu: Abraham adalah bapa kami! Karena aku berkata kepadamu: Allah dapat menjadikan anak-anak bagi Abraham dari batu-batu ini!" (Mat.3:8-9). Namun orang-orang Yahudi, seperti juga orang-orang Kristen, mendasarkan keyakinan mereka pada keberadaan sebagai anak: "Kami adalah umat yang terpilih. Kami telah dipilih oleh Allah." Benar, itu semua karena anugerah, akan tetapi anugerah juga bisa menyebabkan kita menjadi sombong. Lagi pula, oleh kasih karunia, Ia telah memilih saya, dan bukan Anda. Ia telah memilih kami, bukan kalian. Ini adalah awal suatu kesombongan. Saya mau tunjukkan kepada anda bahwa dengan sikap seperti itu berarti Anda masih belum memahami pengajaran yang alkitabiah tentang hal menjadi anak. Dan itu sebabnya mengapa di dalam Yohanes 8:41 orang-orang Yahudi berkata kepada Tuhan, "Kami tidak dilahirkan dari zinah. Bapa kami satu, yaitu Allah," dengan kata lain, "Kami para anak." Benar sekali, mereka memang para anak, akan tetapi Tuhan Yesus berkata di ayat 44, "Iblislah yang menjadi bapamu." Apakah anak-anak Abraham berasal dari iblis? Bukan, anak-anak Abraham adalah anak-anak perjanjian! Tuhan Yesus berkata, "Dari buahmulah terlihat bahwa kalian tidak lain adalah anak-anak iblis." Ini bukan suatu pernyataan yang bermaksud menghina. Ini adalah diagnosa tentang keadaan rohani mereka. Tidak, kita tidak boleh mendasarkan keyakinan kita pada fakta bahwa kita telah dipilih untuk menjadi anak. Mari kita ingat poin ini baik-baik.
Itu sebabnya mengapa Yohanes Pembaptis, nabi besar Allah, berkata, "Jadi hasilkanlah buah yang sesuai dengan pertobatan. Dan janganlah mengira, bahwa kamu dapat berkata dalam hatimu: Abraham adalah bapa kami! Karena aku berkata kepadamu: Allah dapat menjadikan anak-anak bagi Abraham dari batu-batu ini!" (Mat.3:8-9). Namun orang-orang Yahudi, seperti juga orang-orang Kristen, mendasarkan keyakinan mereka pada keberadaan sebagai anak: "Kami adalah umat yang terpilih. Kami telah dipilih oleh Allah." Benar, itu semua karena anugerah, akan tetapi anugerah juga bisa menyebabkan kita menjadi sombong. Lagi pula, oleh kasih karunia, Ia telah memilih saya, dan bukan Anda. Ia telah memilih kami, bukan kalian. Ini adalah awal suatu kesombongan. Saya mau tunjukkan kepada anda bahwa dengan sikap seperti itu berarti Anda masih belum memahami pengajaran yang alkitabiah tentang hal menjadi anak. Dan itu sebabnya mengapa di dalam Yohanes 8:41 orang-orang Yahudi berkata kepada Tuhan, "Kami tidak dilahirkan dari zinah. Bapa kami satu, yaitu Allah," dengan kata lain, "Kami para anak." Benar sekali, mereka memang para anak, akan tetapi Tuhan Yesus berkata di ayat 44, "Iblislah yang menjadi bapamu." Apakah anak-anak Abraham berasal dari iblis? Bukan, anak-anak Abraham adalah anak-anak perjanjian! Tuhan Yesus berkata, "Dari buahmulah terlihat bahwa kalian tidak lain adalah anak-anak iblis." Ini bukan suatu pernyataan yang bermaksud menghina. Ini adalah diagnosa tentang keadaan rohani mereka. Tidak, kita tidak boleh mendasarkan keyakinan kita pada fakta bahwa kita telah dipilih untuk menjadi anak. Mari kita ingat poin ini baik-baik.
Sangatlah penting
bagi kita untuk tidak disesatkan oleh pengajaran palsu di zaman sekarang
ini. Dapat saya katakan bahwa mayoritas pengajaran di Gereja sekarang
ini mencoba untuk mengatakan kepada Anda bahwa yang perlu Anda lakukan
adalah menjadi anak. Saudara-saudaraku, menjadi anak adalah hal yang
penting. Itu adalah langkah pertama. Namun jangan membayangkan bahwa
kedudukan sebagai anak adalah dasar dari jaminan keselamatan. Tidak ada
dasar alkitabiah bagi hal itu karena seiring dengan penghargaan itu
datang pula suatu tanggungjawab. Semakin banyak Anda menerima, semakin
banyak Allah menuntut dari Anda. Ia mengharapkan sesuatu yang lebih dari
Anda karena Anda adalah seorang anak. Dan itulah yang Ia katakan kaum
Israel, "Karena engkaulah, dan hanya engkaulah, umat yang Kupilih di
atas bumi ini, maka Aku akan menghakimi engkau" (Ul.7:6-7; Yeh.18:30).
Itulah dasar dari penghakiman-Nya.
Ingatlah selalu
bahwa perumpamaan ini tidak berkisah tentang orang tidak percaya yang
tersesat, melainkan tentang anak yang hilang. Camkanlah hal ini
baik-baik. Dan di dalam perumpamaan ini, anak-anak tersebut bahkan
merujuk kepada kelompok-kelompok yang ada dalam kalangan umat Yahudi: di
satu pihak, orang-orang Farisi beserta para ahli kitab, dan di pihak
lain adalah para pemungut cukai dan orang-orang berdosa.
Allah adalah Bapa
kepada Semua
Sekarang, mari kita perhatikan aspek lain di dalam perumpamaan ini: Kebapaan Allah. Allah disebut sebagai Bapa. Kita sudah memahami bahwa kata 'anak' dipakai dalam pengertian yang sangat luas, menunjukkan bahwa sekalipun orang yang tidak percaya tetap memiliki hubungan dengan Allah karena Allah yang menciptakan mereka; keberadaan mereka bersumber pada Allah. Dalam pengertian seperti itu, dia adalah keturunan Allah juga seperti yang dikatakan oleh Paulus dalam Kisah 17:28. Berdasarkan pengertian yang sangat luas itu maka Allah juga merupakan Bapa bagi orang-orang yang tidak percaya karena keberadaan mereka bersumber dari Allah. Berarti setiap orang harus bertanggung jawab kepada Allah, karena Allah adalah Bapa kepada setiap orang. Tapi bagi orang-orang Kristen, Ia adalah Bapa di dalam pengertian hubungan yang lebih dekat, dan juga Bapa bagi Yesus di dalam pengertian hubungan yang malah lebih dekat lagi.
Sekarang, mari kita perhatikan aspek lain di dalam perumpamaan ini: Kebapaan Allah. Allah disebut sebagai Bapa. Kita sudah memahami bahwa kata 'anak' dipakai dalam pengertian yang sangat luas, menunjukkan bahwa sekalipun orang yang tidak percaya tetap memiliki hubungan dengan Allah karena Allah yang menciptakan mereka; keberadaan mereka bersumber pada Allah. Dalam pengertian seperti itu, dia adalah keturunan Allah juga seperti yang dikatakan oleh Paulus dalam Kisah 17:28. Berdasarkan pengertian yang sangat luas itu maka Allah juga merupakan Bapa bagi orang-orang yang tidak percaya karena keberadaan mereka bersumber dari Allah. Berarti setiap orang harus bertanggung jawab kepada Allah, karena Allah adalah Bapa kepada setiap orang. Tapi bagi orang-orang Kristen, Ia adalah Bapa di dalam pengertian hubungan yang lebih dekat, dan juga Bapa bagi Yesus di dalam pengertian hubungan yang malah lebih dekat lagi.
Ingatlah selalu
bahwa "Kita tidak berada di tingkatan yang sama dengan Yesus." Dia
adalah Anak di dalam pengertian yang berbeda dengan keberadaan kita
sebagai anak-anak. Jika Anda tidak memperhatikan hal ini, Anda akan
jatuh dalam kesesatan lagi. Sebagai contoh, para Saksi Yehova menjadi
sesat karena mereka mengira bahwa keberadaan Yesus sebagai Anak itu sama
dengan kita, tanpa ada perbedaan esensi sama sekali. Pemahaman ini sama
sekali salah. Yesus adalah Anak di dalam pengertian yang sepenuhnya
berbeda. Ia adalah Anak karena Ia dari hakekat yang sama dengan Bapa.
Seperti yang dengan
teliti disampaikan oleh Paulus, kita adalah anak-anak berdasarkan
adopsi. Kita memiliki "Roh yang menjadikan kita anak." Tentu saja, kita
tahu bahwa Yohanes berbicara tentang 'kelahiran kembali', dan ungkapan
itu berbicara tentang keberadaan sebagai anak secara figuratif. Tidak
boleh dipahami secara harfiah, namun secara rohaniah. Artinya, kita
menjadi anak-anak karena kita sudah dilahirkan kembali oleh kuasa Allah.
Tetapi Paulus lebih suka menggunakan istilah 'ciptaan baru' seperti yang
dia tulis di dalam 2 Korintus 5:17, kita menjadi ciptaan baru di dalam
Kristus.
Dengan melihat bahwa
Allah itu Bapa kepada kita semua, dalam pengertian yang lebih mendalam
bagi kita orang-orang Kristen ketimbang mereka yang non-Kristen, lalu
bagaimana sikap kita terhadapAllah? Pengajaran dari Yesus sangat
menekankan hal ini kepada kita: tentang Kebapaan Allah. Ini adalah poin
yang sangat penting di dalam pengajaran Yesus. Dan Yesus menunjukkan
kepada kita di dalam ajaran-Nya bahwa Allah juga peduli pada orang-orang
non-Kristen. Sebagai contoh, Ia berkata di dalam Khotbah di atas Bukit
bahwa Allah menurunkan hujan kepada orang Kristen dan yang non-Kristen.
Ia tidak membatasi hujan-Nya hanya kepada orang Kristen saja. Ia
memberikan sinar matahari kepada orang Kristen dan yang non-Kristen.
Semua itu karena Ia adalah Bapa di dalam pengertian yang sangat luas,
mencukupkan kebutuhan setiap umat-Nya, bahkan termasuk burung-burung di
udara serta bunga-bunga di padang. Bagaimana kita memperlakukan Allah
sebagai Bapa?
Kita sebagai orang
Kristen memiliki keakraban yang lebih dekat kepada Allah karena kita
mengenal-Nya bukan hanya sebagai Pencipta tapi juga sebagai Penebus.
Kita terikat kepada-Nya sebagai anak dalam dua cara, sebagai Pencipta
dan Penebus. Kita boleh menyebut-Nya Abba Bapa, bukan
sekadar 'Bapa', tetapi Abba Bapa. Inilah unsur yang menyolok dari
ajaran Yesus. Di dalam bahasa Mandarin, Abba itu sama dengan
Baba. Di dalam logat Shanghai, penyebutannya sangat mirip dengan
bahasa Aram, yaitu Ah-ba, suatu panggilan yang sangat akrab.
Kadang-kadang kita memakai kata Dia-dia [Papa]. Ah-ba
sangat serupa dengan kata Ibrani, Abba. Mungkin istilah milik
orang Shanghai ini bersumber dari bahasa Ibrani! Saya tidak tahu,
mungkin memang ada hubungan antara keduanya. Jadi kita mendapati sesuatu
yang sangat indah di sini.
Orang-orang
non-Kristen tidak dapat memanggil Allah dengan Abba Bapa. Ia
tidak dapat memanggil dengan cara seperti itu, karena Anda baru bisa
memakai istilah itu jika Roh Allah ada di dalam Anda. Kata Abba
mengungkapkan suatu hubungan yang sangat akrab yang tak pernah dapat
dinikmati oleh orang non-Kristen. Mereka tidak memiliki bentuk hubungan
yang hidup dengan Allah. Hubungan yang mereka miliki bersifat formal
dalam pengertian luas Allah sebagai Bapa mereka, sebagai Pencipta
mereka. Akan tetapi mereka tidak berada di dalam hubungan yang akrab
dengan Allah dalam bentuk seperti hubungan seorang anak dengan ayahnya,
di mana anak itu boleh memanggil ayahnya dengan sebutan "Bapa, Papa,
Papi dan sebagainya." Anda pasti tidak akan memanggil orang lain dengan
sebutan "Papi". Orang itu akan melotot ke arah Anda dan bertanya, "Siapa
kamu? Kenapa kamu panggil saya papi? Apa hak kamu memanggil saya seperti
itu?" Tapi jika Anda datang kepada ayah Anda dan memanggilnya, "Papa,"
ia akan senang dengan panggilan itu. Tidak ada masalah buatnya. Karena
hubungan yang akrab itu memang Anda miliki.
Dosa terbesar yang
dapat dituduhkan atas seseorang dalam budaya China mungkin adalah bu
xiao, yaitu tidak hormat kepada orang tuanya. Di kalangan orang
China, kata bu xiao mungkin adalah makian terburuk yang dapat
Anda lontarkan terhadap seseorang. Tidak begitu penting apakah ia
seorang perampok bank selama ia masih xiao, yaitu masih
menghormati dan mencintai orang tuanya. Besar kemungkinan orang itu
akan mendapat pengampunan jika ia merampok bank karena ayahnya sakit
keras dan ia tidak mampu membayar ongkos pengobatannya. Saya pikir
seorang hakim di China akan tergerak untuk berbelas kasihan atas
perampok bank ini. Dan saya pikir para hakim di China cenderung untuk
berbelas kasihan kepada orang yang berbuat sesuatu karena alasan xiao.
Jika Anda menyatakan bahwa seseorang itu bu xiao, ia akan
disingkirkan oleh masyarakat China. Bahkan kuburanpun tidak akan
disediakan baginya! Ia dipandang tidak layak untuk tetap hidup!
Riwayatnya sudah tamat! Kalau kita sudah mengerti dan terbiasa dengan
rasa hutang budi kepada orang tua, mengapa kita masih belum juga
mengerti bahwa hutang budi kita kepada Allah jauh melampaui hutang budi
kita kepada orang tua? Allah adalah Bapa di dalam pengertian yang jauh
lebih mendasar ketimbang orang tua kita.
Pikirkanlah tentang
buah-buahan yang Anda makan. Sangat luar biasa nikmatnya! Perhatikan
sebuah jeruk. Buah ini dikemas dengan sangat sempurna. Kemasan kulitnya
dilapisi lilin pelindung, mempertahankan kesegarannya sampai waktu yang
cukup lama. Jika Anda sudah mengupasnya, di bagian dalam Anda akan
menemukan daging buah yang dibagi dan dikemas sesuai dengan ukuran
mulut. Anda tidak usah menjejalkan seluruh daging buah ke dalam mulut
Anda sekaligus. Setiap bagiannya dirancang sempurna. Dan lagi, tidak ada
juru masak di dunia ini yang dapat meniru aromanya. Jika seorang ahli
kimia mencoba untuk meniru rasa buah jeruk, hasilnya akan jauh berbeda
dengan hasil kreasi Bapa saya di dapur kreatif-Nya. Anda dapat segera
merasakan adanya bahan kimia yang asing. Sekalipun ia memiliki rasa yang
sangat mirip dengan jeruk, Anda tetap tahu bahwa itu bukan rasa yang
alami. Rasa yang alami sangatlah sempurna. Tidak terlalu manis,
sampai-sampai mulut Anda terasa lengket. Kadang-kadang, ketika Anda
sedang makan manisan, Anda kesulitan dalam menggerakkan mulut Anda; gigi
Anda terasa lengket. Terlalu banyak campuran gulanya. Terlalu lengket.
Tapi tidak demikian dengan jeruk. Rasa, aroma dan rancangannya sempurna
dan seimbang.
Ada bermacam-macam
buah. Sebagai contoh, buah apel tidak dirancang seperti buah jeruk.
Ketika Anda menggigitnya, daging buah itu sangat memanfaatkan gigi anda,
ia mengosok dan membersihkan gigi Anda, sekaligus juga memijat gusi
Anda. Segalanya sudah dirancang. Dan rasa yang diberikan juga
bermacam-macam. Jika Allah hanya membuat satu macam buah, dan kita semua
hanya bisa melihat buah jeruk, Anda akan bertanya, "Makanan apa lagi
yang tersedia selain ini?" Di dalam dunia ini, Allah menyediakan
berbagai macam buah-buahan. Setiap jenis memiliki aroma, kemanisan dan
kenikmatan yang berbeda.
Pernahkah Anda
menikmati buah persik? Wah! Rasanya betul-betul fantastis! Sering kali,
ketika saya makan buah persik, saya bertanya-tanya, "Bagaimana buah ini
bisa terbentuk?" Kata yang cocok untuk menggambarkan buah ini adalah
'fantastik'! Dan lagi pula, anggaplah semua buah memiliki rasa yang
berbeda tetapi dengan bentuk dan tekstur yang sama, hal ini pasti akan
membosankan juga. Akan tetapi setiap buah memiliki tekstur yang berbeda
- ada yang renyah, ada pula yang lembut. Benar-benar luar biasa!
Ketika Anda
menikmati buah-buahan itu, pernahkah Anda memikirkan asal muasalnya?
Atau Anda tidak peduli akan hal itu, dan cuma menjejalkannya ke dalam
mulut. Ketika saya menikmati buah-buahan, saya memikirkan betapa
indahnya Abba Bapa menciptakan buah itu. Anda tidak akan dapat
memahami apa itu sukacita kehidupan jika Anda tidak mengenal Allah.
Sangat indah menjadi seorang Kristen karena kehidupannya sangat
bermakna. Saya rasa menjadi orang non-Kristen berarti hanya menjalani
sebagian sisi saja dari kehidupan ini. Anda tidak akan dapat menikmati
hidup ini. Anda tidak akan dapat menikmati keindahan, rancangan, tujuan
dan struktur dari setiap hal.
Perhatikanlah
sekuntum bunga. Manfaat apa yang dimiliki oleh sekuntum bunga? Kami
orang Tionghoa sangat mementingkan manfaat suatu benda. Kami selalu
menilai apa guna suatu benda. Jika tidak ada gunanya, lupakan saja! Jika
Anda memberi saya seikat bunga, mungkin saya akan memandangi bunga itu
dengan rasa kesal. Apa yang bisa saya lakukan dengan seikat bunga? Tidak
bisa dimakan, tak bisa dikenakan, lalu apa yang bisa dilakukan dengan
bunga? Pemborosan saja! Tapi coba amatilah bunga itu dan pikirkan warna,
jenis, bentuk dan wanginya. Apakah Anda hanya memikirkan manfaat
praktisnya? Itu semua adalah hal-hal yang memberi sukacita, keindahan
dan memperluas pandangan kita karena mereka memperlihatkan kecantikan
yang belum kita pahami dengan utuh. Segala sesuatu memiliki tujuan dan
rancangan. Apa manfaat praktis dari bunga bagi setiap orang? Apa yang
bisa dilakukannya? Tetapi Allah di dalam tujuan-Nya telah menetapkan
rencana bagi setiap dari hal-hal ini.
Atau lihatlah pada
berbagai macam jenis pohon. Sejak kedatangan saya di Kanada, saya baru
mulai menghargai keberadaan pohon-pohon. Sungguh luar biasa! Selama ini
saya menjalani hidup saya tanpa pernah peduli pada pepohonan. Pernahkah
Anda mengamati pohon-pohon? Bagi saya dulu, setiap pohon sama saja.
Hanya sebuah dundukan berwarna hijau. Sampai akhirnya saya mulai
mengamati setiap pohon dengan lebih dekat, dan saya membatin, "Wah! Ada
begitu banyak jenis pohon! Setiap daunnya memiliki bentuk dan rancangan
yang berbeda. Beberapa jenis daun berubah warna di musim gugur. Setiap
pohon memiliki fungsi yang berbeda. Ada yang kayunya keras, ada pula
yang lunak. Jika yang tersedia hanya kayu lunak, Anda akan kesulitan
membangun rumah. Jika hanya ada kayu keras, muncul pula kesulitan yang
lain. Kayu-kayu itu bahkan memiliki corak dan warna yang berbeda-beda.
Sungguh luar biasa!"
Pepatah Tionghoa
mengatakan, Yin shui si yuan - saat Anda meminum air,
renungkanlah asal muasal air itu. Saya pikir menjadi orang Kristen
itu sangat indah. Benar-benar merupakan kehidupan yang menggairahkan
khususnya jika Anda jalankan apa yang diajarkan kepada kami, orang-orang
Tionghoa - yaitu merenungkan asal-usul segala sesuatu. Dengan begitulah
saya mendapatkan hati yang penuh syukur dan sembah, yaitu xiao
dalam pengertian bakti kepada Allah. Dan saya selalu berterima kasih
kepada Allah, "JalanMu benar-benar sangat indah! Engkau adalah Bapa yang
luar biasa bagiku. Sungguh besar kemurahan, kasih karunia dan kebaikanMu
kepadaku. Engkau sungguh ajaib!" Semakin Anda memahami ciptaan Allah,
semakin ajaib Allah bagi Anda.
Ada seorang teman
saya yang menekuni bidang fisika, dan ia mengatakan bahwa semakin dalam
ia mempelajari bidang itu, semakin kagum hatinya melihat keajaiaban
ciptaan Allah. Hatinya dipenuhi oleh semangat pengabdian. Ada lagi
seorang teman saya yang menekuini bidang kedokteran. Dan suatu hari, ia
terlihat sangat gembira.
Lalu saya bertanya,
"Apa yang membuatmu gembira hari ini?"
"Sungguh ajaib!
Rancangan Allah sungguh ajaib!"
Saya tanyakan, "Apa
yang kamu bicarakan?"
Jawabnya, "Tulang
sendi lutut."
Tak pernah
terpikirkan oleh saya sebelumnya bahwa tulang sendi lutut adalah hal
yang ajaib. Lutut yang saya miliki, bagi saya, tampaknya bukan yang
tercantik di antara yang lainnya. Hanya terlihat sebagai potongan tulang
yang menonjol ke depan.
Namun teman ini
berkata, "Rancangan tulang sendi lutut sungguh sangat ajaib! Benar-benar
fantastik!" Kemudian ia menjelaskan segala sesuatu tentang tulang sendi
lutut kepada saya.
Sebelumnya, saya
tidak pernah melihat ada orang yang melonjak kegirangan karena urusan
lutut. Akan tetapi, semakin Anda dapat memahami ciptaan Allah, semakin
Anda memahami tentang rancangan dan manfaatnya, akan semakin mempesona
hal itu bagi Anda! Masalah utama kita adalah ketidaktahuan. Itulah
persoalan kita. Kalau saja kita lebih memahami keajaiban rancangan otak
kita, struktur organ-organ tubuh dan tujuannya, bagaimana semuanya
dirancang, maka kita pasti akan memuji Allah. Kita akan berkata, "Ya
Allah, Engkau sungguh ajaib!" Kita akan memiliki xiao. Kita
merasa banyak berhutang budi kepada orang tua kita. Mereka sungguh
sangat baik kepada kita. Mereka sangat menyayangi kita, dan penghargaan
serta penghormatan yang tinggi layak mereka dapatkan dari kita. Namun
jauh lebih besar lagi hutang budi kita kepada Allah, yaitu Bapa dari
segala bapa, Orang tua dari segala orang tua! Sebagaimana yang dikatakan
oleh Alkitab, Bapa dari semua (Ef.4:6).
Allah adalah Bapa
yang Sangat Berbelas Kasihan di dalam Perumpamaan ini
Sekarang kita sampai kepada poin berikutnya di dalam perumpamaan ini: Allah tampil sebagai Bapa dengan belas kasihan yang sangat besar. Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, kita perlu mengoreksi pemahaman kita tentang Allah. Kita selalu saja memandang Allah sebagai Shang Di. Dalam bahasa China, Shang Di berarti, "Kaisar di atas." Shang berarti atas, dan Di berarti Kaisar. Dan kami memandang Allah seperti Shang Di yang dihormati, disegani dan ditakuti, Kaisar di atas segala kaisar.
Sekarang kita sampai kepada poin berikutnya di dalam perumpamaan ini: Allah tampil sebagai Bapa dengan belas kasihan yang sangat besar. Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, kita perlu mengoreksi pemahaman kita tentang Allah. Kita selalu saja memandang Allah sebagai Shang Di. Dalam bahasa China, Shang Di berarti, "Kaisar di atas." Shang berarti atas, dan Di berarti Kaisar. Dan kami memandang Allah seperti Shang Di yang dihormati, disegani dan ditakuti, Kaisar di atas segala kaisar.
Saya pernah
berkunjung ke Tien Tan (Kelenteng dari Surga) pada waktu masih
sekolah, ketika saya di Beijing, dan saya sangat terkesan dengan Tien
Tan. Sebuah bangunan yang sangat indah. Di satu bagian gedung itu,
di dalamnya, tidak tertulis kata-kata lain kecuali Shang Di -
Tuhan, Kaisar Surga. Kami orang China cenderung membayangkan kata Di,
kaisar, sebagai satu Pribadi yang menakutkan, penuh dengan kuasa, dan
biasanya, kami tidak mengaitkan ide belas kasihan dengan seorang kaisar.
Tetapi di dalam
Alkitab, kita harus belajar untuk berpikir dengan cara yang berbeda.
Allah sangatlah berbelas kasihan. Biasanya, sekali setahun, Kaisar China
mengunjungi Tien Tan dan mempersembahkan kurban kepada Allah. Sungguh
hal yang luar biasa, bahkan sebelum datangnya zaman Alkitab, konsep
tentang satu Allah sudah ada. Di dalam beberapa tulisan klasik, Shang
Di juga disebut sebagai Tien, sama dengan yang tertulis di
dalam Alkitab berbahasa China. Di dalam Matius, kita melihat kata 'surga
atau langit (heaven)' yang merupakan sebutan bagi Allah di
kalangan orang Yahudi. Di dalam bahasa China, julukan penghormatan yang
diberikan juga sama. Tien dipakai untuk menyebut Allah. Kata
Tien ini tidak sekadar berarti langit. Dan jika ditelusuri lebih
jauh ke belakang, di dalam tulisan-tulisan klasik China, kata tien
selalu mengacu kepada Allah. Sebagai contoh, pepatah Mou shi zai ren,
cheng shi zai tien berarti merencanakan itu di pihak manusia,
melaksananya ada di pihak Allah. Pelaksanaan tidak dengan mengandalkan
manusia melainkan Allah. Jadi kita memiliki konsep tentang Allah yang
sangat jelas di China. Dan kaisar mempersembahkan kurban kepada Allah
karena ia memahami bahwa manusia pada dasarnya berhutang segala-galanya
kepada Allah, jadi manusia berhutang ketaatan kepada Allah. Sayangnya,
konsep tentang Allah bukan memandang-Nya sebagai Bapa tetapi lebih
sebagai Kaisar, jadi gambaran yang mereka bayangkan adalah Allah sebagai
satu Pribadi yang sangat menakutkan.
Di dalam perumpamaan
ini, kita menemukan kata 'belas kasihan' (Luk.15:20) ini, dan saya ingin
membawa pengamatan Anda pada keindahan ajaran Biblika tentang belas
kasihan. Kata dalam bahasa Yunani yang diterjemahkan sebagai belas
kasihan adalah, splagnizomai. Dan splagnizomai berasal
dari kata Yunani splagnon yang berarti bagian dalam dari tubuh,
seperti jantung, hati atau paru-paru. Itu semua disebut splagnon,
jeroan, bagian dalam dari tubuh seseorang. Dan metafora dari kata itu
bermakna perasaan terdalam dari Anda. Jadi kata ini bermakna belas
kasihan, dalam pengertian Allah menyayangi kita dari lubuk hati-Nya yang
terdalam. Suatu ungkapan perasaan yang sangat dalam. Kata ini hanya
dipakai jika Anda bermaksud untuk mengungkapkan perasaan yang terdalam,
bukan sekadar rasa sayang saja. Dan kata ini dipakai di dalam perumpaman
kali ini dalam menggambarkan belas kasihan sang ayah, rasa sayang dan
simpati yang sangat mendalam, perasaan yang dipendamnya terhadap anak
yang hilang namun sudah bertobat dan kembali.
Yesus Memiliki
Belas Kasihan dan Mengajarkannya di dalam Perjanjian baru
Menariknya, kata 'belas kasihan' dipakai dalam Perjanjian Baru hanya dalam referensi kepada Yesus. Di dalam Perjanjian Baru kita mendapatkan enam referansi:
Menariknya, kata 'belas kasihan' dipakai dalam Perjanjian Baru hanya dalam referensi kepada Yesus. Di dalam Perjanjian Baru kita mendapatkan enam referansi:
Yang pertama dipakai
dalam Matius 9:36. Tuhan Yesus kala itu sedang memandangi kerumunan
orang-orang yang mengikuti Dia: tergeraklah hati Yesus oleh belas
kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba
yang tidak bergembala. Saat Yesus menatap kita sekarang ini, Anda
boleh yakin bahwa Tuhan Yesus menatap ke arah kita dengan keprihatinan
yang mendalam, belas kasihan yang mendalam, atas keadaan kita yang
seperti domba tanpa gembala.
Yang kedua terdapat
di dalam Matius 14:14. Kata ini dipakai dalam kejadian pemberian makan
kepada 5.000 orang di padang belantara: Ketika Yesus mendarat, Ia
melihat orang banyak yang besar jumlahnya, maka tergeraklah hati-Nya
oleh belas kasihan kepada mereka dan Ia menyembuhkan mereka yang sakit.
Ketika Ia melihat mereka dalam keadaan kelaparan dan kekurangan di
tengah tempat yang sepi, hati-Nya tergerak oleh belas kasihan kepada
mereka. Alasan mengapa Ia memberi makan orang banyak itu bukanlah
karena Ia ingin membuat mukjizat. Ini adalah pandangan keliru yang
sering terjadi. Alkitab memberi tahu kita bahwa Ia memberi makan 5.000
orang karena didorong oleh belas kasihan kepada mereka. Ia merasa sedih
melihat mereka kelaparan.
Referensi yang
ketiga ada di dalam Matius 15:32, dan ini adalah peristiwa pemberian
makan kepada 4.000 orang: Lalu Yesus memanggil murid-murid-Nya dan
berkata: "Hati-Ku tergerak oleh belas kasihan kepada orang banyak itu.
Sudah tiga hari mereka mengikuti Aku dan mereka tidak mempunyai makanan.
Aku tidak mau menyuruh mereka pulang dengan lapar, nanti mereka pingsan
di jalan." Sekali lagi, Yesus memberi makan 4.000 orang karena
hati-Nya tergerak oleh belas kasihan pada mereka yang kelaparan.
Yang keempat ada di
dalam Markus 1:41. Yesus berbelas kasihan kepada seorang penderita
kusta, jenis orang yang selalu diabaikan oleh masyarakat. Penderita
kusta terlihat menjijikkan karena seluruh tubuh dan wajah mereka
dipenuhi oleh luka. Mereka tersisih dari masyarakat dan tak ada yang mau
mendekatinya karena orang takut tertular kusta itu. Dan Yesus memandang
ke arah penderita kusta itu dan berbelas kasihan kepadanya: Maka
tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan, lalu Ia mengulurkan tangan-Nya,
menjamah orang itu dan berkata kepadanya: "Aku mau, jadilah engkau
tahir."
Yang kelima ada di
dalam Matius 20:34 ketika Yesus berbelas kasihan, perasaan mendalam dari
batin-Nya terhadap atas dua orang buta. Ia menatap dengan penuh belas
kasih kepada kedua orang buta itu, yang terpaksa mengemis karena di
dalam masyarakat mereka itu, orang buta tidak dapat memperoleh
pekerjaan. Mereka harus seumur hidup menjadi pengemis. Dan Ia berbelas
kasihan kepada mereka: Maka tergeraklah hati Yesus oleh belas
kasihan, lalu Ia menjamah mata mereka dan seketika itu juga mereka
melihat lalu mengikuti Dia.
Yang keenam terdapat
di dalam Lukas 7:13. Yesus berbelas kasihan kepada seorang janda di Nain
yang sedang meratapi kematian anak tunggalnya, dan janda itu menangis
sambil mengikuti orang-orang yang menggotong jenazah anaknya ke kuburan:
Dan ketika Tuhan melihat janda itu, tergeraklah hati-Nya oleh belas
kasihan, lalu Ia berkata kepadanya: "Jangan menangis!" Ia merasa
sangat kasihan kepada janda itu. Dihentikan-Nya arak-arakan itu dan
dibangkitkan-Nya anak si janda itu. Sekali lagi, Ia membuat mukjizat
bukan untuk membuktikan bahwa Ia mampu membangkitkan orang mati. Yesus
tak pernah berusaha untuk pamer kuasa. Ia tidak pernah berusaha untuk
membuktikan sesuatu. Ia melakukan semua hal itu atas dorongan belas
kasihan. Ia membangkitkan anak si janda karena dorongan belas kasihan.
Alasan-Nya melakukan mukjizat itu adalah rasa belas kasihan kepada si
janda yang sedang bersedih. Camkanlah hal ini.
Sangat mengagumkan
bahwa kata 'belas kasihan' di dalam Perjanjian Baru ini hanya dipakai
dengan merujuk kepada Yesus. Kata ini bahkan tidak muncul di dalam
surat-surat rasul Paulus. Selain itu, kata 'belas kasihan' ini juga
dipakai langsung di dalam ajaran Yesus, dalam tiga referensi, tetapi di
satu referensi, kata ini muncul dua kali, jadi total keseluruhannya bisa
dikatakan ada empat referensi.
Yang pertama muncul
dalam perumpamaan tentang orang Samaria yang baik, di dalam Lukas 10:33:
Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat
itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas
kasihan.
Referensi yang kedua
ada di dalam perumpamaan ini, yaitu perumpamaan tentang anak yang hilang
di dalam Lukas 15:20, di mana sang ayah tergerak oleh belas kasihan
melihat keadaan anaknya yang menyedihkan, kurus, kelelahan, berpakaian
lusuh dan telanjang kaki. Itu adalah anaknya, dan sang ayah ini berbelas
kasihan kepada anaknya: Maka bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya.
Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya
oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul
dan mencium dia.
Yang ketiga dan
sekaligus keempat tampak di dalam Matius 18:33, tentang seorang hamba
yang mendapat belas kasihan dari tuannya ketika ia tidak sanggup
melunasi hutangnya, dan hutang itu dihapuskan. Sayang sekali, hamba itu
tidak berbelas kasihan kepada hamba yang lain: "Bukankah engkaupun
harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau?"
Dan seluruh gambaran
yang indah tentang kebapaan Allah, ungkapan belas kasihan-Nya yang
terdalam, dirumuskan dengan sangat indah di dalam kata-kata yang
terdapat dalam Lukas 6:36, "Hendaklah kamu murah hati (merciful,
penuh belas kasihan), sama seperti Bapamu adalah murah hati (merciful,
penuh belas kasihan)." Yesus mengajarkan bahwa Allah, Bapa kita
penuh dengan belas kasihan. Dari sini, kita dapat melihat betapa
indahnya gambaran tentang keberadaan manusia sebagai anak dan Kebapaan
Allah.
Kunci Pemahaman
perumpamaan ini: Si Anak Bertobat
Anda akan melihat bahwa di dalam kedua perumpamaan yang sebelumnya (tentang domba dan uang dirham yang hilang), domba dan koin itu bersikap pasif. Mereka tidak mengambil peranan apapun. Si gembala dan perempuan itulah yang melakukan segalanya. Namun saya peringatkan Anda bahwa jika Anda hanya mengambil salah satu saja dari ketiga perumpamaan itu, misalnya tentang domba yang hilang saja, maka Anda akan sampai kepada doktrin yang sesat yang berkata bahwa Allahlah yang melakukan segalanya sedangkan manusia tidak berperan apa-apa di dalam keselamatan. Atau bahwa peranan manusia adalah pasif sepenuhnya. Seseorang tinggal duduk menunggu keselamatan dari Allah. Apa yang dilakukan oleh si domba? Domba itu hanya duduk diam dan tidak berbuat apa-apa. Ia hanya menanti sampai Allah (sang gembala) datang dan menyelamatkannya. Nah, jika Anda membangun doktrin keselamatan dengan dasar seperti itu, Anda akan masuk ke dalam salah satu bentuk ajaran Calvinisme - ajaran tentang kepasifan manusia dalam berhadapan dengan aktifitas Allah. Padahal, kedua perumpamaan itu baru lengkap jika perumpamaan yang ketiga ini dimasukkan.
Anda akan melihat bahwa di dalam kedua perumpamaan yang sebelumnya (tentang domba dan uang dirham yang hilang), domba dan koin itu bersikap pasif. Mereka tidak mengambil peranan apapun. Si gembala dan perempuan itulah yang melakukan segalanya. Namun saya peringatkan Anda bahwa jika Anda hanya mengambil salah satu saja dari ketiga perumpamaan itu, misalnya tentang domba yang hilang saja, maka Anda akan sampai kepada doktrin yang sesat yang berkata bahwa Allahlah yang melakukan segalanya sedangkan manusia tidak berperan apa-apa di dalam keselamatan. Atau bahwa peranan manusia adalah pasif sepenuhnya. Seseorang tinggal duduk menunggu keselamatan dari Allah. Apa yang dilakukan oleh si domba? Domba itu hanya duduk diam dan tidak berbuat apa-apa. Ia hanya menanti sampai Allah (sang gembala) datang dan menyelamatkannya. Nah, jika Anda membangun doktrin keselamatan dengan dasar seperti itu, Anda akan masuk ke dalam salah satu bentuk ajaran Calvinisme - ajaran tentang kepasifan manusia dalam berhadapan dengan aktifitas Allah. Padahal, kedua perumpamaan itu baru lengkap jika perumpamaan yang ketiga ini dimasukkan.
Di dalam perumpamaan
tentang anak yang hilang ini, Anda akan mendapati bahwa kenyataannya,
sang ayah justru tidak berperan aktif; ia berdiam di rumah menantikan
anaknya kembali. Si anaklah yang melakukan segalanya. Anak itu bertobat.
Anak itu yang memutuskan apa yang akan ia katakan kepada ayahnya. Anak
itu yang pergi kembali kepada ayahnya. Namun, jika Anda membangun
doktrin hannya berdasarkan perumpamaan ini saja, Anda juga akan masuk
dalam kesimpulan yang salah, bahwa manusia yang melakukan segalanya
sedangkan Allah tidak berbuat apa-apa. Anda harus memakai ketiga
perumpamaan ini secara serentak untuk dapat melihat gambaran yang
selengkapnya.
Saya tegaskan sekali
lagi bahwa kesalahan dari orang-orang Calvinis tepatnya pada masalah
penekanan ini: mereka hanya berfokus pada kedua perumpamaan yang pertama
dan mengabaikan yang ketiga, yaitu Perumpamaan tentang Anak yang Hilang.
Itu sebabnya, para pendukung Calvin mengajarkan bahwa Allah melakukan
segala-galanya dan manusia tidak perlu berbuat apapun. Anda cuma perlu
duduk menanti sampai Allah datang menyelamatkan Anda. Malahan, iman
Andapun dinyatakan sebagai karunia. Pada dasarnya Anda tidak memiliki
iman sama sekali. Semuanya merupakan pemberian, jadi bahkan di dalam hal
iman, Anda juga tinggal menerima saja, Anda pasif. Ini adalah pendapat
yang terlalu ekstrim, dan jelas tidak sesuai dengan Alkitab. Dan saya
harus menyatakan hal ini dan menyatakannya dengan tegas.
Yesus sama sekali
tidak mengajarkan hal ini. Si anak teringat pada kasih ayahnya dan ia
bertobat. Perhatikan bahwa di dalam keseluruhan perumpamaan ini, si
anaklah yang mengambil peranan aktif sampai dengan kepulangannya ke
rumah. Hal ini sangat penting untuk kita ingat-ingat. Jika kita sudah
paham akan hal ini, kita juga akan dapat melihat bahwa pertobatan
adalah saat kita terbangun melihat kenyataan dunia rohani.
Sebagaimana yang sudah Anda lihat di dalam ayat 17, di situ dikatakan
bahwa ia menyadari keadaannya. Ia terbangun.
Di dalam Efesus 5:14
kita baca, Bangunlah, hai kamu
yang tidur dan bangkitlah dari antara orang mati dan Kristus akan
bercahaya atas kamu. Ini
pernyataan yang penting. Jika Anda belum mengenal Allah, maka keadaan
Anda sama seperti anak bungsu yang boros ini yang masih lelap dalam
tidurnya. Anda masih belum terbangun. Anda masih belum memahami realitas
kerohanian. Anda masih tinggal di dalam mimpi. Sekaranglah saatnya
bangun dan melihat realitas Allah. Ada beberapa orang yang susah
dibangunkan sehingga dibutuhkan benturan keras untuk membangunkan
mereka. Si bungsu ini masih terlelap. Ia masih asyik menikmati dunia
khayalnya sampai akhirnya dia terbenam dalam kekacauan.
Dosa dari
Pengingkaran terhadap Allah
Perumpamaan ini sangat mengena dengan kehidupan saya. Saya tidak bisa menceritakannya secara panjang lebar sekarang ini kesaksian hidup saya, akan tetapi si bungsu itu mengalami hal yang sangat mirip dengan pengalaman saya. Dulu saya menjalani hidup di dalam dunia yang tidak nyata. Saya menjalani hidup sebagai seorang yang agnostik (tidak peduli kepada Tuhan) atau ateis (tidak percaya adanya Tuhan). Saya terombang-ambing di antara keduanya. Secara filsafat, agnostikisme lebih layak diterima ketimbang ateisme; karena ateisme tidak memiliki dasar pemikiran yang masuk akal. Saya terombang-ambing di antara kedua aliran pemikiran itu. Saya menjalani kehidupan di dunia tidak nyata yang saya bangun di dalam diri saya ini sampai akhirnya terjerumus ke dalam masalah seperti yang dialami oleh si anak bungsu itu. Sampai pada suatu hari, ketika saya duduk di dalam penjara penguasa Komunis, saya tersadar dan berkata, "Apa yang saya lakukan ini?" Sangat serupa dengan anak yang hilang di dalam perumpamaan ini yang berkata, "Aku seharusnya bisa tetap tinggal dengan bapa menjalani hidup yang berkelimpahan. Sekarang malahan harus duduk bersama babi!" Seperti itulah keadaan saya pada waktu itu. Saya duduk di halaman penjara, di bawah todongan senapan mesin seorang penjaga Komunis, dan saya tersadar. Dibutuhkan pengalaman yang seburuk itu untuk membangkitkan kesadaran saya. Saya membatin, "Apa yang sudah saya lakukan ini?" Dan kemudian saya menatap ke atas dan bertanya, "Bagaimana dengan Allah yang selama ini tidak saya pedulikan?" Lalu untuk pertama kalinya, saya berkata pada diri sendiri, "Aku tahu apa yang harus kukatakan kepada Allah." Dan saya mulai menyusun doa di dalam hati saya dan memanjatkan doa tersebut. Saya bertobat, dan saya sangat kagum ketika mendapati bahwa Allah sangat berbelas kasih. Allah yang sudah saya perlakukan dengan kurang ajar, ternyata sangat berbelas kasihan kepada saya!
Perumpamaan ini sangat mengena dengan kehidupan saya. Saya tidak bisa menceritakannya secara panjang lebar sekarang ini kesaksian hidup saya, akan tetapi si bungsu itu mengalami hal yang sangat mirip dengan pengalaman saya. Dulu saya menjalani hidup di dalam dunia yang tidak nyata. Saya menjalani hidup sebagai seorang yang agnostik (tidak peduli kepada Tuhan) atau ateis (tidak percaya adanya Tuhan). Saya terombang-ambing di antara keduanya. Secara filsafat, agnostikisme lebih layak diterima ketimbang ateisme; karena ateisme tidak memiliki dasar pemikiran yang masuk akal. Saya terombang-ambing di antara kedua aliran pemikiran itu. Saya menjalani kehidupan di dunia tidak nyata yang saya bangun di dalam diri saya ini sampai akhirnya terjerumus ke dalam masalah seperti yang dialami oleh si anak bungsu itu. Sampai pada suatu hari, ketika saya duduk di dalam penjara penguasa Komunis, saya tersadar dan berkata, "Apa yang saya lakukan ini?" Sangat serupa dengan anak yang hilang di dalam perumpamaan ini yang berkata, "Aku seharusnya bisa tetap tinggal dengan bapa menjalani hidup yang berkelimpahan. Sekarang malahan harus duduk bersama babi!" Seperti itulah keadaan saya pada waktu itu. Saya duduk di halaman penjara, di bawah todongan senapan mesin seorang penjaga Komunis, dan saya tersadar. Dibutuhkan pengalaman yang seburuk itu untuk membangkitkan kesadaran saya. Saya membatin, "Apa yang sudah saya lakukan ini?" Dan kemudian saya menatap ke atas dan bertanya, "Bagaimana dengan Allah yang selama ini tidak saya pedulikan?" Lalu untuk pertama kalinya, saya berkata pada diri sendiri, "Aku tahu apa yang harus kukatakan kepada Allah." Dan saya mulai menyusun doa di dalam hati saya dan memanjatkan doa tersebut. Saya bertobat, dan saya sangat kagum ketika mendapati bahwa Allah sangat berbelas kasih. Allah yang sudah saya perlakukan dengan kurang ajar, ternyata sangat berbelas kasihan kepada saya!
Anda mungkin tidak
berpikir bahwa Anda sudah melakukan banyak dosa. Lihatlah anak yang
hilang ini yang telah meninggalkan rumahnya. Apakah ia sudah menghina
bapanya? Apakah ia sudah melecehkan bapanya? Apakah ia sudah mengutuki
bapanya? Tidak. Apakah ia mencuri sesuatu dari bapanya? Tidak. Ia
meminta bagiannya dan ia mendapatkan itu. Mungkin caranya sedikit
memalukan, tidak elok, akan tetapi itu tidak salah di sisi hukum, tidak
berdosa. Ia tidak melanggar hukum apapun. Lalu bagaimana cara kita
memahami situasi ini? Apakah ia sudah berbuat kasar kepada ayahnya?
Tidak. Jadi, ia tidak mencuri, tidak membunuh - tidak melakukan hal yang
jahat. Lalu apa dosanya? Kesalahan apa yang dibuat oleh anak ini? Hanya
satu: ia menyangkal ayahnya.
Apa kesalahan yang
Anda lakukan sebagai seorang non-Kristen? Apakah Anda melakukan
pembunuhan? Pencurian? Atau merampok bank? Tidak. Kesalahannya adalah
bahwa Anda telah berpaling dari Allah. Pada dasarnya Anda telah bu
xiao. Anda telah menolak untuk memuliakan Allah, Bapa segala yang
ada, sumber dari hidup kita. Itulah kejahatan Anda. Itulah hal yang saya
lakukan dulu. Saya bahkan melakukan lebih dari itu. Saya sudah menghina
dan mengolok-olok orang-orang Kristen, walaupun saya tidak menghina
Allah. Saya tidak mencuri, merampok, tidak ada tindak kriminal yang
pernah saya lakukan, akan tetapi saya justru melakukan hal yang terburuk
- membelakangi Allah. Saya berkata, "Aku tidak punya waktu untukMu. Aku
akan menjalani hidup dengan caraku sendiri. Selamat tinggal."
Ketika saya ingin
berbalik kepada-Nya, saya menyadari bahwa saya tidak berhak untuk
berbicara kepada-Nya. Namun sungguh besar belas kasihan-Nya! Ia berlari
menyambut saya! Dan tempat yang dipilih sungguh luar biasa, saya bertemu
dengan Allah di dalam penjara penguasa Komunis. Betul-betul tempat yang
luar biasa! Saya bersyukur kepada Allah atas kehadiran kaum Komunis
dalam hal ini. Jika pihak Komunis tidak pernah datang, mungkin saya
tidak akan pernah menjadi orang Kristen. Segala sesuatu terjadi dengan
tujuan yang sudah pasti, bahkan peristiwa kemenangan kaum Komunis
sekalipun. Jika China tidak dimenangkan oleh kaum Komunis, saya ragu
apakah saya dapat menjadi Kristen. Dengan pengalaman segawat itulah saya
dibangunkan pada kenyataan. Saya tersadar dari mimpi dan bertemu dengan
Allah. Suatu perjumpaan dengan Allah yang sangat mengesankan yang
terjadi di halaman penjara, yang belum pernah dapat saya bayangkan
sebelumnya. Saya bertemu dengan Allah ketika sedang duduk di halaman
penjara itu. Saya bercakap-cakap dengan-Nya. Dan saya mengalami Dia
dalam suatu cara yang tidak akan pernah bisa dipahami oleh mereka yang
belum pernah mengalami Allah. Pengalaman ini tidak dapat diterangkan.
Allah hadir melingkupi saya, dan seluruh tubuh saya dipenuhi oleh rasa
sukacita, sukacita yang tidak dapat saya pahami. Pengalaman pertemuan
ini tidak dapat saya pahami secara nalar dan tidak juga dapat saya
jelaskan menurut bahasa nalar.
Jaminan kita
Hanya ada di dalam Allah, Bapa kita yang Penuh Belas kasih
Kita akan masuk ke dalam poin yang terakhir walaupun masih ada banyak kekayaan makna di dalam perumpamaan ini yang dapat kita gali. Poin ini dapat diilustrasikan dengan memakai pengalaman saya di dalam kamp tahanan kaum Komunis itu. Sesudah Allah menempatkan saya di tempat yang sangat rendah seperti itulah baru saya siap untuk bertemu dengan-Nya. Bagaimana menurut Anda jika si bungsu ini, ketika ia sedang duduk di antara babi-babi, berkata pada dirinya sendiri, "Nah, saya ini masih seorang anak! Jika saya menuntut ke pengadilan, mungkinkah dia akan menyangkal bahwa ia adalah ayah saya dan saya adalah anaknya?" Anggaplah ia memutuskan, "Saya akan pulang dan berkata, "Sudahlah bapa, bagaimanapun juga saya ini kan anakmu. Engkau tahu siapa saya, bukankah begitu? Sekarang ini saya terlihat lusuh, tetapi nama keluarga saya masih Chang, bukankah begitu? Engkau adalah ayah saya dan engkau tidak mungkin dapat menyangkal hal itu. Ini akte kelahiran saya. Semua keterangan ada di sana."" Menurut Anda, apa yang akan terjadi dengan si bungsu ini?
Kita akan masuk ke dalam poin yang terakhir walaupun masih ada banyak kekayaan makna di dalam perumpamaan ini yang dapat kita gali. Poin ini dapat diilustrasikan dengan memakai pengalaman saya di dalam kamp tahanan kaum Komunis itu. Sesudah Allah menempatkan saya di tempat yang sangat rendah seperti itulah baru saya siap untuk bertemu dengan-Nya. Bagaimana menurut Anda jika si bungsu ini, ketika ia sedang duduk di antara babi-babi, berkata pada dirinya sendiri, "Nah, saya ini masih seorang anak! Jika saya menuntut ke pengadilan, mungkinkah dia akan menyangkal bahwa ia adalah ayah saya dan saya adalah anaknya?" Anggaplah ia memutuskan, "Saya akan pulang dan berkata, "Sudahlah bapa, bagaimanapun juga saya ini kan anakmu. Engkau tahu siapa saya, bukankah begitu? Sekarang ini saya terlihat lusuh, tetapi nama keluarga saya masih Chang, bukankah begitu? Engkau adalah ayah saya dan engkau tidak mungkin dapat menyangkal hal itu. Ini akte kelahiran saya. Semua keterangan ada di sana."" Menurut Anda, apa yang akan terjadi dengan si bungsu ini?
Saya lihat ada
begitu banyak orang Kristen yang berperilaku seperti ini. Mereka
berpikir bahwa pada Hari itu, mereka akan datang menghadap kepada bapa
dan berkata, "Lihat, ini surat baptis saya, saya dibaptis di sebuah
gereja yang sangat bagus, Gereja Injil di Montreal (Kanada). Tempat yang
cukup layak untuk beribadah. Lihatlah keterangan di dalam surat itu. Ini
tanda tangan pendetanya. Sekalipun mungkin engkau tidak bisa membaca,
tentunya engkau tahu bahwa itu adalah tanda tangan. Ini surat resmi.
Jadi, sekarang saya datang. Saya mau mengklaim keselamatan saya! Saya
memang tidak menjalani hidup selayaknya sebagai orang Kristen. Cukup
banyak dosa yang saya perbuat. Cukup banyak tindakan ngawur yang saya
lakukan. Bahkan mungkin kualitas kehidupan rohani saya sebagai orang
Kristen masih di bawah kualitas kehidupan orang yang non-Kristen. Tapi
saya punya surat baptis. Saya adalah seorang anak!"
Dan orang-orang yang
malang itu mengira bahwa Allah akan berkata, "Oh, mari sini anakKu!
Baiklah, karena kamu punya surat baptis, Aku terima kamu sebagai anak
dan engkau boleh kembali ke rumah."
Seperti kebanyakan
pengalaman orang-orang Kristen pada hari itu, Anda juga akan sangat
terkejut! Jika Anda mendasarkan keselamatan Anda pada klaim anda sebagai
anak, tamatlah riwayat Anda! Ini bukan untuk menakut-nakuti.
Kita berbicara
tentang keberadaan sebagai anak di dalam perumpamaan ini. Si anak bungsu
baru menjadi layak sebagai anak justru saat ia menyadari bahwa ia tidak
layak untuk menjadi anak. Si bungsu ini menjadi anak seutuhnya baru pada
saat ia menyadari bahwa ia sesungguhnya tidak mempunyai hak untuk
menjadi anak. Ini adalah perbedaan yang mendasar antara si bungsu dan si
sulung, anak namun belum menjadi anak. Ini adalah poin yang harus kita
pegang dan pahami secara mendalam. Ketika si bungsu membatin, "Aku akan
berkata kepada bapa, 'Saya tidak layak menjadi anakmu. Berilah saya
tempat di antara para hambamu,'" saat itulah ia berada dalam keadaan
yang layak menerima anugerah. Anugerah bukanlah anugerah jika Anda dapat
menuntut pemenuhannya. Waspadalah terhadap setiap doktrin atau
pengajaran yang mendorong Anda untuk berpikir bahwa pada Hari
Penghakiman nanti Anda berhak untuk menuntut keselamatan bagi Anda,
bahwa Anda berhak untuk memperolehnya atas dasar suatu tanggal dan bulan
anda percaya. Setiap orang yang berpikir seperti itu akan segera
mendapatkan kejutan besar. Hanya ada satu macam orang yang akan
mendapatkan warisan, yaitu orang miskin. "Berbahagialah orang yang
miskin." Mereka tidak memiliki hak; dan mereka tidak menuntut hak
apapun. Mereka hanya datang dalam kerendahan hati dan bertobat.
Saya beritahu Anda
bahwa saya akan menjadi orang yang sangat bodoh jika saya menghadap
kepada Allah di Hari Penghakiman itu dan berkata, "Lihat, saya seorang
pendeta. Saya sudah memberitakan Injil selama bertahun-tahun! Saya
berkhotbah di dalam banyak seminar dan KKR. Lihat saja betapa banyak
peserta yang hadir di sana, mereka semua tahu bahwa saya memberitakan
Injil, bukankah begitu? Saya adalah seorang Kristen, dan bukan hanya
itu, saya seorang pendeta! Jadi kalau ada orang yang berhak masuk ke
dalam kerajaan Allah, sayalah orang itu! Perintahkanlah para malaikat
untuk meniupkan terompet menyambut saya!" Saya beritahu Anda, jika saya
datang kepada Allah dengan cara seperti ini, Ia sama sekali tidak akan
ada waktu untuk saya.
Pada Hari itu, saat
saya datang kepada Allah, saya akan berkata, "Tuhan, saya tidak punya
apa-apa yang dapat saya persembahkan padaMu. Saya tidak mempunyai klaim
apapun. Kiranya Kau berkenan menerima saya sebagai hambaMu. Saya sudah
mengusahakan apa yang dapat saya lakukan. Pekerjaan saya sungguh tidak
berarti sekalipun itu sudah saya lakukan dengan segenap kemampuan saya
di dalam kasih karuniaMu. Karena keterbatasan saya, hasilnya memang
tidak memadai. Saya sungguh memohon kiranya Engkau mau menempatkan saya
di antara para hambaMu." Hanya sikap hati seperti itu yang dicari oleh
Allah. Ia tidak punya waktu untuk berurusan dengan orang-orang yang
angkuh dan meninggikan diri. Dan jika Anda pernah menerima doktrin atau
ajaran yang menempatkan Anda di dalam semacam 'jaminan' seperti itu,
lupakan saja! Tidak ada landasan alkitabiah yang meneguhkan ajaran itu.
Seperti yang diceritakan oleh Yesus, anak ini diterima karena ia pulang
kepada ayahnya, memohon untuk boleh diterima sebagai hamba atau budak.
Ingatlah hal itu baik-baik. Camkanlah hal ini baik-baik.
Saya berdoa agar
Anda dapat mempelajari sikap ini karena inilah kunci pemahaman seluruh
perumpamaan ini. Jika Anda mencari sesuatu pelajaran dari peerumpamaan
ini, maka poin inilah hal utama yang disampaikan oleh perumpamaan ini.
Bukan sekadar kepulangan si anak bungsu yang diceritakan. Yang
terpenting adalah dengan cara bagaimana si bungsu ini pulang. Yang
terpenting adalah perubahan besar yang sudah terjadi di dalam sikap si
anak bungsu itu.
Rasul Tuhan yang
besar, Paulus, bermegah hanya dalam satu gelar saja, yaitu "hamba atau
budak Yesus Kristus." Ia tidak menuntut kehormatan yang lebih tinggi
ketimbang sekadar sebagai seorang budak Yesus. Pada zamannya, seorang
pekerja dengan upah harian masih berkedudukan lebih tinggi dari pada
seorang budak. Seorang pekerja harian mempunyai sedikit kemerdekaan, hal
yang tidak dimiliki oleh seorang budak. Paulus hanya berkeinginan untuk
dapat diterima sebagai salah satu budak Yesus Kristus. Paulus tidak
bermegah atas keberadaannya sebagai anak. Ia menyatakan dengan sangat
tegas, "Memang benar, kita menantikan pengangkatan sebagai anak. Namun
di atas segalanya, saya bermegah hanya atas kesempatan istimewa menjadi
seorang hamba atau budak Yesus Kristus."
Seorang hamba atau
budak tidak menerima penghargaan atau balas jasa setelah ia melakukan
segala sesuatu. Ia sekadar dipandang telah menjalankan tugasnya.
Pernahkah Anda melihat ada budak yang datang kepada majikannya dan
berkata, "Lihat, perhatikan prestasi saya"? Apapun yang sudah Anda
kerjakan bagi Tuhan, tidak peduli sebesar apapun prestasi Anda, tidak
lebih dari sekadar menunaikan apa yang memang sudah seharusnya Anda
kerjakan.
Inilah arti dari
'keselamatan oleh anugerah'. Anugerah berarti "Tidak ada satu hal pun
yang layak untuk saya banggakan. Saya tidak menuntut apa-apa, saya tidak
membanggakan keberadaan sebagai anak yang telah diberikan kepada saya."
Hal yang paling berbahaya adalah membanggakan anugerah seolah-olah
anugerah itu merupakan hak Anda. Mari saya ingatkan bahwa, di dalam
pengajaran yang alkitabiah, segala sesuatu yang dilandasi oleh hak
bukanlah anugerah. Segala sesuatu yang menjadi hak Anda pasti berasal
dari hasil usaha Anda sendiri. Segala sesuatu yang berasal dari anugerah
tidak pernah merupakan hasil perjuangan. Jika kita menjadi anak, hal itu
terjadi bukan karena kita memiliki hak atas hal itu. Dan sekalipun saya
adalah anak, saya tidak dapat mengklaim keberadaan saya sebagai anak
sebagai satu hak karena hal itu selalunya merupakan anugerah, dan
anugerah tidak pernah dilandasi oleh hak.
Pada Hari itu, saya
akan datang kepada Allah bukan sebagai orang penting, namun sebagai
seorang berdosa yang telah bertobat yang diselamatkan oleh anugerah. Dan
saya akan menghadap Allah Bapa dan berkata, "Inilah saya, dengan penuh
sukacita menerima dan terus menerima anugerahMu." Dan saya memiliki
keyakinan itu bukan karena saya adalah anak, melainkan karena belas
kasih-Nya. Keyakinan itu tidak berdasarkan kedudukan saya, sebagai anak
atau apapun itu, tetapi berdasarkan pada siapa Allah itu - Bapa yang
penuh dengan belas kasihan.
Akan tetapi Dia
tidak akan berbelas kasih kepada orang-orang yang tinggi hati,
orang-orang yang membanggakan kedudukan mereka sebagai anak seolah-olah
hal itu merupakan hak yang dapat mereka klaim. Orang-orang ini masih
belum memahami apa arti keberadaan sebagai anak. Akan tetapi Gereja di
zaman sekarang ini dipenuhi oleh orang-orang Kristen yang berkata, "Saya
pasti selamat karena saya adalah anak Allah." Anda baru bisa hidup dan
berlaku seperti seorang anak jika Anda menjalani hidup dan berperilaku
seperti seorang yang sadar bahwa Anda tidak layak bahkan untuk berada di
antara para pekerja harian apa lagi kelayakan untuk menjadi anak. Semoga
Anda dapat memahami hal itu.
Kiranya Allah
menganugerahkan kesempatan bagi kita untuk bisa kembali kepada-Nya dalam
pertobatan, hari demi hari. Semoga saya bisa menjalankan hal ini setiap
hari sehingga jika Hari itu tiba, saya dapat datang menghadap kepada-Nya
di dalam jaminan kepastian iman, dalam belas kasih-Nya kepada
orang-orang yang bertobat dan rendah hati. Inilah jaminan kepastian
kita: Barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan Kubuang
(Yoh.6:37). Inilah jaminan keselamatan saya, bukan didasarkan saya
ini penting, saya adalah anak Allah. Jangan pernah mendasarkan
jaminan keselamatan Anda kepada segala sesuatu yang lain selain Allah.
No comments:
Post a Comment