Seandainya saya
menikah, tentu saya tidak kesepian lagi. Seandainya gaji saya lebih besar,
tentu kehidupan keluarga saya lebih harmonis. Seandainya saya tidak terjebah
dikota kecil ini, tentu bisnis saya berjalan lebih lancar. Seandainya istri
saya penuh pengertian, tentu saya bisa melayani Tuhan secara lebih leluasa.
Seandainya. Seandainya. Seandainya.
Pernahkah pikiran seperti itu
mengerumini benak anda? Lumaya sering? Kita menginginkan hidup yang lebih baik,
lebih bahagia. Dan, kita mengira, jalan untuk mencapainya ialah berubahnya
keadaan atau orang disekitar kita.
Jemaat di Korintus juga berfikir
demikian. Untuk menjadi orang Kristiani yang lebih baik, orang-orang yang tak
bersunat perlu bersunat; seorang hamba perlu memerdekakan diri; yang melajang
perlu menikah. Bagaimana tanggapan Paulus? Menurutnya, bagi orang yang telah
dipanggil Allah, tidaklah penting keadaan lahiriahnya. Kalau bisa diubah
menjadi lebih baik, mengapa tidak? Namun, kalau tetap sama, tak perlu
dipaksakan untuk berubah. Kalau pun malah menjadi lebih buruk, karena kitaz
dianiaya, misalnya, itu pun tidak masalah.
Faktor yang paling menentukan
ialah kehidupan baru yang dianugrahkan kepada kita: bahwa sekarang kita
“tinggal dihadapan Allah”, hidup bersama dengan Allah. Kebahagiaan hidup kita
tidak lagi ditentukan lagi oleh faktor lahiria, melainkan oleh faktor batiniah:
hubungan kita dengan Allah kita menjadi milik-Nya, dipanggil untuk mengasihi
dan menaati-Nya. Dengan kesadaran ini kita dapat hidup tenang dan tentram,
bagaimanapun kondisi lahiriah kita, terbebas dari lingkaran setan “seandainya”
No comments:
Post a Comment