Wednesday 16 October 2013

Seandainya



Seandainya saya menikah, tentu saya tidak kesepian lagi. Seandainya gaji saya lebih besar, tentu kehidupan keluarga saya lebih harmonis. Seandainya saya tidak terjebah dikota kecil ini, tentu bisnis saya berjalan lebih lancar. Seandainya istri saya penuh pengertian, tentu saya bisa melayani Tuhan secara lebih leluasa. Seandainya. Seandainya. Seandainya.

Pernahkah pikiran seperti itu mengerumini benak anda? Lumaya sering? Kita menginginkan hidup yang lebih baik, lebih bahagia. Dan, kita mengira, jalan untuk mencapainya ialah berubahnya keadaan atau orang disekitar kita.

Jemaat di Korintus juga berfikir demikian. Untuk menjadi orang Kristiani yang lebih baik, orang-orang yang tak bersunat perlu bersunat; seorang hamba perlu memerdekakan diri; yang melajang perlu menikah. Bagaimana tanggapan Paulus? Menurutnya, bagi orang yang telah dipanggil Allah, tidaklah penting keadaan lahiriahnya. Kalau bisa diubah menjadi lebih baik, mengapa tidak? Namun, kalau tetap sama, tak perlu dipaksakan untuk berubah. Kalau pun malah menjadi lebih buruk, karena kitaz dianiaya, misalnya, itu pun tidak masalah.

Faktor yang paling menentukan ialah kehidupan baru yang dianugrahkan kepada kita: bahwa sekarang kita “tinggal dihadapan Allah”, hidup bersama dengan Allah. Kebahagiaan hidup kita tidak lagi ditentukan lagi oleh faktor lahiria, melainkan oleh faktor batiniah: hubungan kita dengan Allah kita menjadi milik-Nya, dipanggil untuk mengasihi dan menaati-Nya. Dengan kesadaran ini kita dapat hidup tenang dan tentram, bagaimanapun kondisi lahiriah kita, terbebas dari lingkaran setan “seandainya”

No comments:

Post a Comment