Monday, 8 June 2015

Setelah Sukses, Bankir Ini Malah Menyimpan Penyesalan Yang Dalam

Seorang Bankir yang telah sukses dari Australia menuliskan sebuah surat terbuka mengenai penyesalan terdalamnya setelah ia sukses. Simak kisahnya.

John Jerryson, seorang bankir sukses berusia 46 tahun, menulis sebuah surat terbuka di sebuah media lokal Australia. Ia menceritakan seluruh kisah hidupnya di dalam tulisan itu. Bukanlah akhir tentang kesuksesannya yang ia fokuskan, melainkan curhatannya mengenai penyesalannya akan hidup yang telah ia jalani. Bagaimana ia menyia-nyiakan begitu banyak waktu yang terbuang.

Berikut isi tulisan yang telah memberikan motivasi kepada banyak orang dilansir dari mirror.co.uk:

“Hai, namaku John. Aku sudah berpikir cukup lama, namun akhirnya aku menuliskan hal ini. Aku harus mengeluarkan semua yang tersimpan di hatiku. Aku seorang bankir yang berusia 46 tahun dan selama ini ternyata aku hidup tidak seperti yang aku inginkan. Semua mimpiku, keinginanku, sudah hilang. Aku selalu kerja enam hari selama seminggu dalam 26 tahun ini. Aku selalu memilih jalur yang aman untuk semua yang kulakukan. Tak kusangka hal itu lah yang ternyata justru telah mengubah pribadiku.

Aku mendapati istriku ternyata sudah berselingkuh sejak 10 tahun terakhir. Anakku juga tidak begitu peduli denganku. Aku juga baru sadar bahwa aku tidak hadir di pemakaman ayahku tanpa ada alasan apapun. Hobiku menulis novel tapi aku tidak pernah menyelesaikannya. Aku juga tidak jadi menggeluti hobi travellingku yang selalu kucita-citakan.  Padahal hal-hal itulah yang menjadi keinginan dan cita-citaku sejak masih remaja dulu. Kalau lah gambaran remajaku datang saat ini, aku pasti sudah memukul wajahku sendiri. Aku akan menyesali kenapa semua mimpiku begitu cepat hancur.

Masih seperti kemarin rasanya ketika aku masih berumur 20 tahun. Masih seperti kemarin rasanya ketika aku begitu bernafsu mengubah dunia. Orang-orang di sekitar begitu menyayangiku. Dan aku juga menyayangi mereka. Aku begitu inovatif, kreatif, spontan, tak takut resiko dan sangat baik kepada orang lain. Aku hanya punya dua mimpi, yaitu menulis sebuah buku dan yang berikutnya adalah mengelilingi dunia dan menolong mereka yang membutuhkan.

Lalu akhirnya aku menikah dengan perempuan yang kupacari selama empat tahun. Cinta yang begitu nyata. Ia menyukai semua hal yang ada padaku. Spontanitas, energi. dan kemampuanku untuk membuat orang lain tertawa dan merasa begitu dicintai.

Aku tahu bahwa bukuku kelak akan mengubah dunia. Aku akan memperlihatkan cara pandang yang berbeda, membuat pembacaku berpikir dengan cara yang berbeda sehingga. Aku pun bersemangat menulis buku itu sejak umur 20 tahun. Ketika itu aku sudah sampai di halaman 70. Dan kini, ketika umurku sudah 46 tahun, bukunya tetap masih di halaman 70….

Dulu aku pernah backpacker ke New Zealand dan Philipina. Aku berencana mengelilingi Asia, Eropa dan kemudian Amerika. Ternyata sampai saat ini pun, aku tidak pernah lagi pergi ke tempat lain selain di dua negara itu.

Dimana sebenarnya kesalahanku? Penyesalanku terjadi ketika saat aku berpikir bahwa aku harus menggeluti pekerjaan yang mapan. Yang sesuai dengan perkuliahanku. Aku memilih bekerja kantoran, dari jam 9 pagi hingga jam 7 malam. Setiap hari seperti itu. Apa yang sebenarnya kupikirkan? Apakah itu yang dinamakan hidup? Ketika aku harus bekerja dan hanya mengisi waktu dengan makan malam, bekerja untuk persiapan esok hari di kantor dan tidur jam 10 malam? Lalu bangun esoknya di jam 6 pagi? Itu yang namanya hidup? Oh Tuhan, terkadang aku sampai lupa kapan terakhir kali aku bercinta dengan istriku.

Istriku, ya istriku akhirnya mengakui kalau ia telah berselingkuh selama 10 tahun terakhir. 10 tahun! Tampaknya begitu lama ya? Tapi aku tak lagi tahu bagaimana rasanya. Bahkan aku tidak merasa sakit hati. Katanya ia selingkuh karena aku telah berubah. Aku tak seperti diriku yang dulu. Lalu apa sebenarnya yang kulakukan 10 tahun terakhir ini? Selain bekerja dan bekerja, aku tak tahu lagi apa yang pernah kulakukan. Yang pasti aku sadar, aku bukanlah suami yang baik seperti orang kebanyakan. Tidak menjadi diriku sendiri.

Siapa sebenarnya aku? Apa yang terjadi denganku? Mengetahui istriku sudah selingkuh pun aku diam saja. Aku bahkan tidak menuntut perceraian. Tidak marah. Tidak berteriak kepadanya. Dan bahkan tidak menangis. Aku tidak merasakan apa-apa. Tapi ketika aku menuliskan surat ini justru aku menangis. Tapi bukan karena kelakukan istriku. Melainkan karena aku merasa benar-benar hampa.

Ayahku meninggal 10 tahun yang lalu. Aku ingat betul hari itu. Ibuku menelponku dan memberi kabar bahwa ayah sakit keras. Tapi aku sangat sibuk saat itu karena harus mempersiapkan masa promosi jabatanku. Padahal sudah 15 tahun aku tidak melihat ayahku. Tapi aku tak pernah datang menjenguknya dan berharap ia akan baik-baik saja. Ia meninggal. Disaat yang bersamaan jabatanku dinaikkan di kantor.

Ketika ia meninggal, aku malah berkata pada diriku sendiri bahwa tak masalah kalaupun aku tak datang. Apa yang sebenarnya kupikirkan? Semua kurasionalisasi. Semuanya kubuat menjadi mungkin. Pola pikir yang sebenarnya sangat salah karena hanya untuk mendapatkan kemapanan secara finansial.

Sekarang aku sadar, semua ini tidak benar. Aku menyesali banyak hal yang tidak jadi kulakukan padahal aku masih memiliki kemampuan. Aku menyesal karena pekerjaanku sudah mengambil alih seluruh hidupku. Aku suami yang buruk..Aku hanyalah mesin pencari uang.

Sekarang aku menyesal karena tidak menyelesaikan novelku. Tidak mengelilingi dunia seperti yang kuimpikan. Tidak pernah menjadi ayah yang selalu siap untuk anaknya. Aku bagaikan dompet tebal yang tidak memiliki rasa.

Kalau kalian membaca ini dan sedang memikirkan masa depan kalian, kuharap jangan menunda apapun. Jangan tunda mimpi-mimpi kalian.

Percayalah pada kemampuanmu. Lakukanlah sesuatu selagi kau masih muda. Jangan cepat merasa nyaman. Jangan lupakan teman-teman dan keluarga terbaikmu. Jangan sia-siakan hidupmu seperti yang kulakukan. Kumohon jangan!

Maaf karena aku bercerita terlalu panjang. Sekarang aku merasa sangat hampa, tua dan begitu lelah…”

Tulisan John tersebut telah mendapatkan respon dari banyak orang karena keberaniannya membuka terang-terangan kehidupan pribadinya, serta memberikan pelajaran kepada semua orang, untuk lebih menghargai waktu dan kebersamaan yang dimiliki selagi bisa. Agar tidak akan ada penyesalan yang tertinggal di akhir.

Kisah Harimau dan Hutan

Sudah sekian lama, harimau dan hutan bersahabat. Mereka saling tolong-menolong satu sama lain. Harimau menjaga hutan. Demikian juga hutan  menyediakan hampir semua kebutuhan harimau. Dengan adanya harimau, hutan bebas dari jarahan manusia. Kayu-kayu dari pepohonannya terlindungi oleh harimau yang setiap hari berjaga keliling hutan. Begitu pula hutan, menyediakan makanan yang dibutuhkan oleh harimau sehari-hari. Kehidupan harimau dan hutan berjalan sangat harmonis.

Namun, keharmonisan itu rupanya membuat kijang iri. Sebab, kijang sering kali menjadi hewan yang paling banyak jadi korban karena bangsanya menjadi makanan empuk harimau yang lapar. Karena itu, kijang pun menyusun strategi agar keharmonisan harimau dan hutan jadi terpecah belah.

Maka, suatu kali, kijang pun berbisik pada pohon terbesar yang jadi wakil hutan. Kijang berkata, bahwa harimau sebenarnya adalah hewan yang mau untungnya sendiri. Hutan hanya diperdaya harimau. Sebab, tanpa harimau pun, sebenarnya hutan baik-baik saja.

Kijang juga melakukan hal yang sama pada harimau. Namun, agar tak mencolok, kijang menyuruh monyet untuk membisikkan hasutan pada harimau soal hutan. Maka, monyet pun membisiki harimau, bahwa selama ini harimau hanya dimanfaatkan hutan untuk menjaganya.

Mendengar hasutan itu, harimau dan hutan tiap hari kemudian jadi menjaga jarak satu sama lain. Keakraban yang terjalin harmonis selama ini jadi renggang. Hingga akhirnya, suatu hari harimau dan hutan bertengkar. Pohon pemimpin hutan merasa harimau hanya mau untungnya saja tinggal di hutan tanpa mau membantunya. Sebaliknya, harimau juga merasa, hutan hanya mengambil jasanya menjaga hutan tanpa mau memberikan hasil yang lebih padanya.

Pertengkaran keduanya pun menghebat. Maka, akhirnya harimau berjanji, ia akan keluar dari hutan untuk mencari hutan lain yang mau menampungnya. “Baik, aku akan pergi! Jangan pernah minta bantuanku lagi, hutan yang sombong!”

“Kamu yang sombong, mentang-mentang kuat dan ganas, jadi sok jagoan! Pergi sana, aku tak butuh kamu lagi!” sahut hutan.

Mendengar itu, kijang dan monyet diam-diam bersorak. Mereka sudah pasti akan segera terbebas dari ancaman harimau. Namun rupanya, itu tak berlangsung lama. Selama ini, manusia jarang masuk ke hutan itu karena takut ancaman harimau yang buas. Tetapi, karena harimau pergi dari hutan, manusia pun bebas menjebak harimau hingga berhasil ditangkap. Manusia pun tak takut lagi dengan harimau yang berhasil dikurung. Sejak saat itu pula, manusia mulai menjarah hutan. Kayu ditebangi. Pohon digunduli. Hewan-hewan liar—termasuk kijang dan monyet—ditangkap, ada yang dijual, ada yang dijadikan makanan. Akibat kejadian itu, hutan pun jadi berubah total. Tak ada lagi kicau burung indah, tak ada lagi hewan yang berkeliaran bebas, pohon pun banyak yang tumbang diambili kayunya. Semua menyesal. Akibat sebuah hasutan, hutan, harimau, dan semua isi hutan jadi mendapat imbas yang tak diinginkan.

Kadang kala kita lupa, pada orang-orang yang langsung dan tidak langsung berjasa pada kita. Padahal sebagai makhluk sosial, kita sejatinya bergantung satu sama lain. Memang, secara kedudukan, ada yang mengatur, ada yang memimpin, ada yang jadi bawahan. Tapi, semua punya peranan masing-masing. Dan, jangan lupa, semua ibarat puzzle, harus saling melengkapi. Tanpa ada satu komponen, kadang kita akan jadi kerepotan untuk meraih harmonisasi hidup.

Karena itu, jangan pernah iri dengan kedudukan orang lain yang lebih tinggi. Jangan pula memandang kedudukan rendah mereka yang ada di bawah. Sebab, harmonisasi antar-semua tersebut saling melengkapi. Ibarat hutan dan harimau, satu sama lain sebenarnya saling melindungi. Pun demikian kijang dan monyet, serta makhluk hidup lain di dalam hutan. Begitu salah satu komponen hilang, begitu mudahnya gangguan dari luar datang.

Inilah yang perlu kita terus ingat dalam setiap peran yang kita jalani di kehidupan. Apa pun peran yang kita miliki saat ini, jangan pernah posisikan diri sebagai “korban”. Tapi, jadikan diri sebagai salah satu komponen penyeimbang. Dengan begitu, kita bisa selalu bijak dalam menentukan pilihan. Dan, jangan lupakan pula soal kepedulian. Saat satu hal yang menjaga harmonisasi menghilang, bisa jadi suatu saat dampaknya akan segera sampai pada kita juga.

Mari, buka mata dan hati. Selalu jaga harmonisasi kehidupan. Apa pun peran yang kita lakoni saat ini, jalani dengan sepenuh hati. Bebaskan diri dari rasa iri dengki. Dengan begitu, kita akan jadi insan penuh arti yang bisa mengisi setiap keping harmonisasi hidup yang berkelimpahan. Sehingga, kebahagiaan sejati pun akan kita dapatkan.